Wanita Pembawa Sangkar

Pagi ini matahari malu-malu muncul dan enggan memancarkan sinarnya. Cahaya keteduhan itu berpendar dari kaca jedela, perlahan masuk dari sela-sela jeruji sangkar. Membuat seluruh bulu-bulu di badanku bersinar karena cahaya surga itu. Yah, bagiku itu cahaya surga, karena di luar sana bisa bebas terbang dan beradu kasih bersama dengan dia yang akan kucinta.

Cahaya teduh itu sangat bersahabat denganku. Begitupun bersahabat dengan hati. Hati yang merindukan hadirnya seseorang yang akan menjadi belahan jiwa. Namun, nyatanya belahan jiwa itu tak kunjung datang karena keadaanku. Kulihat burung-burung itu berkicauan dan bernyanyi sangat merdu sekali. Terbang saling berkejaran. Mematukan kepalanya kepada sesamanya. Bahkan paruh mereka beradu bersama. Aku merasa senang melihat kemesraan burung-burung itu.

Kata mereka, “Rumahku syurgaku.” Namun, ini bukan rumah bagiku. Ini adalah sebuah penjara. Yang membuatku tak bisa terbang. Jangankan terbang di rumah ini hanya cukup untuk dua kepakan sayapku. Walaupun makanan enak dan bergizi tersedia, minum dengan menggunakan air yang dijamin kehigienisannya, dan bahkan diberikan vitamin untuk penambah stamina. Tapi aku tak butuh itu. Aku hanya butuh kebebasan.