Seketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lantai marmer dan dinding dilapisi cat pastel anti air plus taman baca berbentuk daun teh. Klop banget". Peter menyampaikan impiannya itu dengan gerakan tangan, seolah-olah ia benar-benar merancangnya. Langsung saja aku menepuk lembut pipi kanannya. "Itu proyek gue, ya maksudnya rancangan proyek gue kalau kita udah nikah nanti" Ujarnya lagi membetulkan "What a strange project" Responku singkat. Kami tertawa berbarengan. Sejenak kemudian kami sama-sama diam. Di malam yang dingin dan pemandangan yang menakjubkan itu, aku bersyukur beberapa kali diberi kesempatan untuk bisa bersamanya dan berharap esok akan tetap seperti ini. Bahkan lebih dari sekedar malam ini, esok dan seterusnya pun akan menjadi milikku dan dia. Entah dipikirannya sama denganku atau tidak, seperti yang ia katakan, spesial itu adalah ketika kita bersama orang yang kita sayangi dalam kondisi sesulit apa pun. Itu tepatnya. Dan, yang sekarang aku pinta hanya ingin dia hadir disini. Merencanakan mimpi-mimpi bodohnya lagi. Tapi, apa masih bisa?