32 parts Ongoing Riri menyibakkan rambut hitamnya, "persediaan makanan kita menipis. Kita gak bisa bertahan terus di sini."
"Tempat yang paling deket dari sini, ke mana?" Abil membersihkan kacamatanya dengan ujung hijab yang sudah tak dicuci berhari-hari.
"Supermarket di tengah kota," Azura menjawab dingin sambil menatap kedua orangtuanya terkurung di balik pintu kamar mandi.
Pupil Bian mengecil. Semua orang tahu apa yang akan menjadi keputusan Abil. Seketika si gadis tomboy berdiri. "Supermarket itu terlalu luas dan bahaya. Jangan tolol! Nyawa kita cuman satu!"
Nawa mengangguk cepat, wajah memerah menahan tangis, napasnya memburu, "aku gak mau ke supermarket! Gak! Gak mau!"
"Terus mau gimana? Mati perlahan di dalam sini? Mikir dong! Jangan karena takut, kalian milih mati kelaparan. Perlu ada kanibalisme dulu baru mau keluar?" Mata Abil memerah penuh gelora emosi dari balik kacamata yang engselnya patah akibat pukulan Bian minggu lalu.
Azura memutar matanya malas, situasi sialan ini membuat semua orang lebih sensitif.
"Udah-udah!" Nayara melerai. "Memungkinkan gak kalau kita cek ke rumah-rumah sekitar? Siapa tau Alex di sana masih tingkat 1. Bian bener, supermarket terlalu luas dan beresiko. Kita coba cari dulu di rumah sekitar, kalau gak ada, baru kita ke supermarket."
Seketika ruangan senyap mencerna kalimat Nayara yang selalu bisa menengahi perdebatan mereka.
"Jadi, guys sekarang mereka masih diskusi-"
"LETTA!!" Bentakan teman-temannya langsung menyentak si gadis ikal.
"Le, matiin," pinta Nayara sambil memberi tempat kosong untuk Letta.
***
Hidup para remaja itu berubah ketika penyakit tidak jelas mulai menjelajah kota Bandung. Hidup berbulan-bulan tanpa orang tua dengan pola pikir yang masih kekanak-kanakan. Bagaimana cara mereka bertahan hidup dengan 7 kepribadian yang saling bertentangan?
Bertemu dengan banyak orang dan berbagai kejadian. Merubah masing-masing mereka jadi sosok lain. Berhasilkah mereka bertahan hidup? Atau semua kembali pada keputusan mereka?