"Selamat ulang tahun, Ibu!" teriak sebuah suara yang familiar. Suara itu kemudian hilang, digantikan pelukan erat.
Kedua lenganku membalas dekapan anak kesayanganku. Pelukannya terasa hangat, mengingatkanku akan perjuangan ayah, Nusantara, saat mendirikan Majapahit dulu. Batavia sekarang sudah dewasa, meski masalah mengompolnya belum juga sembuh. Aku merengkuh tubuhnya yang bau dan penuh polusi, mengenali kali-kalinya yang hitam dan halaman-halamannya yang botak. Apa pun yang terjadi, aku tetap bangga dengan Batavia. Menjadi ibu kota memang berat, aku paham betul. Biar pun wajah Batavia selalu terlihat menganggumkan, badannya dipenuhi sampah. Sampah yang mungkin setinggi gedung-gedung pencakar langit yang tampak di wajah putraku itu.
Tapi tak apa, Batavia. Bersabarlah. Sebentar lagi tanggung jawabmu akan dipindahkan ke Borneo.
[Sekarung Sampah Untuk Indonesia #3]
dipublikasi di Kompas Muda
https://muda.kompas.id/2018/07/20/lelehan-lilin-pertiwi/
Sabotase alur kehidupan. Rentang kisah yang terburai.
Semua ini berawal ketika Luna menerima pulpen-yang ternyata berupa alat untuk memutar ulang waktu-dari titipan mendiang papanya. Impresif. Tidak ada yang lebih seru dari melompati berbagai ruang dan waktu seenak hati. Seketika, Luna berubah menjadi seorang idealis. Prinsipnya: turn out the pain, and repeat the happiness.
Akan tetapi, Luna mulai menyadari bahwa standar dari prinsipnya sangatlah rancu. Ia dihadapkan kontradiksi abstrak, yang tak memiliki jalan tengah. Luna menjebak dirinya sendiri dalam persimpangan kelabu, yang bahkan tak pernah ia deteksi titik ujungnya. Benang merah yang terkoneksi, kompleksitas berkesinambungan. Luna harap, kisah ini tak pernah ada sejak awal.