Aku dulu pernah mengenalnya yang kini menjadi goretan luka, terlukis menjadi sejarah, dan menyatu bersama remah duka. Namanya mungkin bisa terlupakan dalam ingatan mata dan logika. Tapi bagaimana menghapus nama yang sudah terpatri dalam dada? Yang mengalir bersama darah dalam raga, menghembus bersama angin yang hidupkan jiwa. Setiap kataku adalah untaian bait syair air mata dan jerit jiwa yang kupaksakan mati di lumbung senja dan air mata. Aku tak mengerti bahasa hujan, tapi aku mengerti rasanya membunuh jiwa dalam diri agar mati dan tak mengingatnya lagi. Aku bersama jiwaku akan selalu menjerit pada nirwana hingga suaraku menghilang dalam rongga kerongkongan yang sepi. Untukmu yang pergi dan tak akan kembali lagi. Sekian coretan pagi..... - Gusti Sadewo - Tangerang, 19 April 2021 Rintihan Rindu Sang Hujan