Dia menangis. Untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap dan menghapus air matanya yang sudah membuyar di wajah manisnya. Dia tengah berada di suatu makam. Iya. Makam seseorang yang sangat berarti baginya. Dia tak pernah menyangka jika semua akan terjadi seperti ini. Tak pernah terfikir sekecil pun akan hal ini. Semua terjadi begitu cepat. Seolah Tuhan tidak mengizinkannya bahagia. Dia tahu maksud Tuhan. Orang-orang berkata Tuhan menyayanginya lebih dari apapun. Sehingga Tuhan mengambilnya lebih dahulu. Namun? Untuk seseorang yang memiliki iman setipisnya mana mungkin dia bisa berfikiran seperti itu?. Yang dia tahu adalah Tuhan tak pernah mengizinkannya untuk bahagia. Sekecil apapun kebahagiaan itu. Pernah. Namun hanya sesaat. Sayangnya, dia tak butuh kebahagiaan yang seperti itu. Yang dia inginkan hanya kebahagiaan abadi tanpa ada orang yang mampu mengusiknya Dia tahu fikirannya salah. Tetapi, apakah harus dia menyalahkan fikirannya? Dia masih menangis. Sesegukkan sambil memegang dada kirinya. Memang sakit. Bahkan sangat amat sakit. Tetapi, semua telah terjadi. Ibarat pepatah. Nasi sudah menjadi bubur. Tinggal bagaimana dia membuat bubur tersebut menjadi special. Dia bangun. Mengerjap. Menatap makam tersebut dengan raut amburadul. Pikirannya memang kacau. Padahal ini sudah kesekian kalinya dia mengunjungi makam ini. Namun, selalu saja ada rasa sakit ketika berada di sini. Dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Walau ini bukanlah salahnya. Dia memtuskan untuk melangkah pulang. Sebelum kakinya melangkah ia menyempatkan berdoa sebentar, berharap orang yang berada di dalam makam tersebut mendapatkan kedamaian luar biasa.All Rights Reserved
1 part