Empat anak menggali makam Ibunya
Part I
40 tahun yang lalu adalah peristiwa yang tidak bisa aku lupakan, Ibuku meninggal dunia disaat aku berusia 5 tahun. Aku dan tiga Adikku mejalani hari-hari penuh kesedihan. Usia balita yang seharusnya masih dalam pelukan seorang Ibu, harus dipaksa mandiri.
Perjalanan cinta Ibuku yang tidak direstui, di jodohkan dengan Ayahku, menemui rintangan dan cobaan yang tidak pernah berhenti. Kepedihan, kelaparan menjadi sahabat ketika Ayahku terpuruk harus keluar dari pekerjaannya.
Ayah selalu setia membuat puisi cinta untuk Ibuku, meskipun Ibuku sudah tiada, Ayah mengirim surat untuk Ibu. Ayah selalu menempelkan surat di nisan Ibu. Kerinduan Ayah pada Ibu, dan tidak menerima kehilangan Ibu, hampir membuat Ayah gila.
Ayah tidak pernah mengatakan Ibu telah wafat, Ayah selalu mengajak kami ke makam Ibu, dan mengatakan pada kami, bahwa itu adalah rumah Ibu.
Aku kabur dari rumah, membawa adik-adikku ke makam Ibu, aku mendengar panggilan suara Ibu, dan kami berusaha menggali makam Ibu.
Kami lahir bukan dari keluarga miskin, tapi kami menjadi anak seperti orang yang paling miskin. Ayah menitipkan kami ke Panti Asuhan, setelah mengetahui keluargaku sering memarahiku.
Hidup dan mati tidak bisa diminta, semua Takdir karena Allah. Nasib kami sudah pasti, dan tidak bisa dirubah selain dari kehendakNya. Kematian yang selalu aku saksikan menjadikan aku wanita yang kuat, tegar seperti batu karang, dan tidak mudah hanyut oleh badai.
Terimakasih.
salam hangat
Mamah Ranggi