Dia berada di sudut. Terdiam. Tersembunyi. Tapi dia menunggu. Mengawasi. Berharap kau mau, barang sekali, menariknya keluar. Membiarkan dia bercengkerama dengan angan dan khayal. Dia tidak seringan sehelai kapas. Juga tidak seramah senyuman. Pun tidak sebaik udara yang membawa oksigen. Kau mungkin akan mengecap pahit. Atau asam mirip cuka, saat kau membebaskannya. Tapi, dia ada bukan untuk jadi beban. Asa ada untuk kehidupan yang mapan. Dada Rukmini terasa plong seolah menang berdebat dengan si abah. Rentetan kata yang baru dibuat, dibacanya sekali lagi. Kali ini sedikit menimbulkan rasa sesak. Dia mendengkus lantas mengelus halaman dari buku bersampul cokelat milik kakaknya yang mogok sekolah. Sangat jelas si abah salah. Salah karena sudah menyekolahkan Jefri. Salah karena selalu menuruti keinginan Jefri. Dan yang paling fatal, salah karena selalu berada di pihak Jefri. Rukmini sudah memutuskan sejak dibentak si abah tadi sore bahwa dia yang akan bertugas sebagai dalang. Bukan lagi si abah yang seenak jidat mau menjodohkannya dengan Kardi--mandor di perkebunan karet yang sudah memiliki tiga istri--habis bulan Ramadhan ini. Dia akan bertindak. Harus segera bergerak. Sumber cover: Pinterest