Kinan duduk diatas kursi roda nya sambil melihat kearah matahari yang akan tenggelam. Dibelakangnya berdiri Dimas--kakak kelasnya--yang membantunya naik keatas rooftop rumah sakit. Dalam hati, Kinan benar-benar merasa takut jika harus menemui ajalnya secepat ini. Tapi bagaimana bisa ia membiarkan orang lain kerepotan karena dirinya? Ia tidak mau merepotkan Papa lebih jauh lagi, apalagi kondisi ekonomi keluarganya sedang memburuk. Dimas membungkukkan tubuhnya, mendekatkan mulutnya ketelinga Kinan. "gue suka sama lo," bisiknya. Kinan langsung terduduk tegak diatas kursi rodanya. "hah?" ujar Kinan, ia merasa salah dengar. "gue suka sama lo," Dimas mengulang ucapannya dengan suara yang lembut. "lo suka sama orang yang sebentar lagi bakalan mati," sahut Kinan datar. Ia tidak mau Dimas menaruh harapan untuknya disaat vonis dokter mengatakan ia hanya akan hidup tidak lebih dari sebulan. "gue gak peduli." ujar Dimas sambil kembali menegakkan tubuhnya. "lo tahu kemana Faiz pergi ninggalin gue? Dia bukan pergi karena kemauannya, dia meninggal. Dia meninggal karena kecelakaan," air mata perlahan mulai memenuhi kelopak mata Kinan. Sebenarnya ia tidak mau memberitahukan hal ini kepada Dimas. "gue gak mau lo ngalamin hal yang sama kayak gue. Gue nyaris hancur saat tahu Faiz gak selamat dari kecelakaan itu. Gue... gak mau lo alamin hal kayak gitu juga." lanjut Kinan, air mata yang sedaritadi memenuhi kelopak matanya kini jatuh, mengalir melewati kedua pipinya. Dibawah langit jingga, Kinan menangis untuk kepergian seseorang yang masih sangat berarti untuknya. Kinan menangis karena sejujurnya ia tidak mau meninggalkan Dimas. Kinan berhasil keluar dari lubang kegelapan itu karena Dimas. Kinan berhasil melawan rasa sepi itu karena Dimas. Ia tidak pernah takut sendiri karena Dimas. Bohong jika ia akhirnya tidak menaruh hati pada Dimas. Tapi, menghindarkan orang yang kita sayang dari rasa sakit bagi Kinan adalah bentuk rasa sayang yang lebih indah dari apapun. ***