Aku melihatnya tengah duduk di pekarangan masjid, ia tengah menahan hujan yang mulai meluap dan sebentar lagi akan tumpah tak karuan. dan akan bertebaran membasahi mata indahnya, hidung mancungnya dan bibirnya yang mungil. Aku jelas melihat wajahnya yang pucat pasi, tatapannya kosong. Aku tak tahu apa yang sedang merasuki hatinya. Hanya saja, aku merasa ibah dan kasihan melihatnya begitu terisak. Cukup lama, aku menatapnya diam-diam. Melihat hidungnya yang mulai memerah, matanya yang bengkak. Aku tak pernah melihat seorang lelaki menangis sesendu itu sebelumnya. Jika saja itu sandiwara, maka ia bisa mengalahkan para pemain sinetron di Indonesia. Setahuku lelaki adalah sosok yang kuat dan tegar. Ayahku membuktikannya, lelaki cenderung malu menunjukkan kesedihannya. Hanya saja, ia berbeda. Aku ingin menghampirinya, bercakap dengannya dan menghibur dirinya. "Jangan, tak baik jika perempuan berduaan dengan lelaki yang bukan mahromnya". Tiba-tiba saja hatiku berbisik. Aku pun mengurungkan niat baikku.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar". Aku terperanjat dari lamunanku. Setelah terdengar adzan menggema di telingaku. Aku terdiam sejenak, menunggu reaksi lelaki itu bangkit dari keterpurukannya. Tapi, tak ada tanda-tanda. Ia hanya duduk diam seribu bahasa menatap nanar.
Lalu, aku bergegas menjemput suara adzan itu. Membasahi setiap ruas jari jemari tanganku, hingga ruas jari kakiku. Aku merasakan ketenangan yang luar biasa. Namun, tetap saja pikiranku masih teralihkan olehnya. Lelaki malang yang menyedihkan. Memikirkannya membuatku tak khusyu'. Setan menguasaiku. Hingga lupa, bacaan shalatku . "Astagfirulla". Berulang kali aku ucapkan kata itu. Memohon ampun pada-Nya karena telah lalai dan tidak serius menjalankan perintahnya. "Pammoporonga Karaeng" (Ampuni Hamba ya Allah)
Siang itu, Suara Adzan dzuhur menjadi saksi bahwa aku diam-diam menatapnya dan memperdulikannya.