"Jutaan langkah kaki lo yang selalu gue ikuti selama ini, membawa gue pada satu kesadaran. Entah orang lain menyebutnya apa. Mungkin cinta? Terserah. Hal paling penting saat ini gue ada bersama lo, Van. Dan itu cukup." Sebelah tangan Evan terulur, meraih tengkuk Rury. Dengan membungkuk, ia mendaratkan satu ciuman di bibirnya. Rury merasakan seluruh alam semesta membisu, diam total. Hanya ada desah napas Evan, dan napasnya sendiri. Evan melepaskan ciumannya setelah beberapa saat. Mata sehitam jelaga itu menatap Rury, dan ia tak bisa menemukan pantulan dirinya di sana, ia sudah terlalu jauh tenggelam. Entah keberanian ini datang dari mana, tapi Rury merasa melakukannya pada momen yang tepat. Ia merasa, tidak ada yang perlu disesali karena ciuman barusan sudah menjawab segalanya; bahwa Evan memiliki hal dan rasa yang sama seperti miliknya. "Gue nggak tertarik sama lo." Rury bersumpah melihat percik kemarahan di mata Evan. Kebencian yang ditekan kuat-kuat. Yang lantas membuat Rury mundur selangkah tanpa sadar, terkejut bukan kepalang. "Gue ini... pembunuh." Bisik Evan dengan gigi mengertak. Rury hanya mampu menatap laki-laki yang seketika terasa asing di hadapannya dengan tatapan hampa. "Apa arti ciuman tadi?" tanya Rury akhirnya dengan suara yang dipaksa terdengar lantang. "Gue mempertegas bahwa gue nggak tertarik sama lo, bahkan setelah ciuman itu." Rury benar-benar sadar inilah akhir dari segalanya. Ia menatap Evan dengan cara itu untuk beberapa saat, mencoba menata seluruh isi hatinya, membiarkan dirinya berpikir jernih atas apa yang telah terjadi barusan. Tapi lantas dilihatnya Evan menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum paling menjijikan yang pernah Rury lihat.All Rights Reserved
1 part