Tangisan dan raungan orang-orang yang melayat tetap tak berhenti. Dian semakin kerepotan meredam semua tangisan itu. Hati Dian tercabik-cabik. Dia tak mengerti, apakah dia harus menangis ataukah mengharubiru karena ibu yang menjadi telapak kaki surganya telah pergi meninggalkan keluarganya dengan damai. Untuk selamanya. Tak bisa dihidupkan kembali seperti episode sinetron.
***
Baru kali ini, Dian melarang orang yang menjenguk ibu (mamahnya) untuk menangis. Bukannya dia melarang bahwa menangis adalah sebuah bentuk keprihatinan dan perhatian. Dian tak ingin ibunya diratapi semua orang. Bahwa ibu adalah contoh korban penyakit pikiran yang selama ini diidapnya.
Alasannya tidaklah sederhana. Ibu selalu memikirkan semua sudut kehidupan keluarganya. Ibulah yang mengerti tentang arti pengorbanan. Ibu jugalah yang paling berjiwa besar memaknai keinginan anak-anaknya. "Ibu adalah mata batin anaknya!"
Dian selalu diselimuti ketenangan ketika mengamalkan petuah itu. Dia baru menyadari betapa besar arti ibu bagi kehidupannya. Ibu menjadi perisai dalam kehidupan Dian. Sampai ia lulus kuliah, ibulah yang paling memahami semua keresahannya.
Orang-orang yang melawat ke rumahnya tentu telah merasakan kasih sayang ibu terhadap sesama manusia. Ibunya merupakan sosok perempuan yang diciptakan sebagai malaikat bagi orang yang mengenalnya.
Dian heran, mengapa ibu tetap memberikan sejumlah uang untuk saudaranya yang dianggap masih lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri. Padahal, ibu tengah tersungkur. Kondisinya kesehatannya melemah, kian parah. Ibu tetap tak kuasa melihat sanak keluarganya ada yang kesusahan. Lebih baik ibulah yang menanggung itu semua. Dian tak begitu mengerti jalan berpikir ibu.
***
....Dian tak mau berpikiran buruk.