Di dalam bus pagi ini, aku masih berfikir keras bagaimana nanti ketika bertemu Bapak. Semenjak perginya tiga tahun lalu ke Negeri Jiran untuk melanjutkan hidup atau mati kelaparan sebagai gelandangan. Sebagai tanda tangung jawabnya sebagai suami ibu yg sakit berbulan-bulan lalu pergi pada Keharibaan. Aku rindu. Teduh matanya yg menyiratkan ketegasan seorang Bapak sejati. Aku memilih pergi dan merantau ke Surabaya setelah lulus SMA. Lebih tepatnya, aku sudah tidak kuat mendengar beberapa ocehan tetangga tentang betapa runyamnya keluargaku, semenjak ibu tiada. Broken Home. Bapak memilih pulang ke rumah orang tuanya, ke rumah Kakek dan Nenek. Berpamitan pada Mpuk yg hanya saudara tiriku. Almarhumah ibu pernah menikah lalu lahirlah Mpuk. Anak tiri Bapak. Jangan ditanya soal kasih sayang. Aku saja yg anak kandung bapak terkadang iri melihat bapak lebih sayang Mpuk daripada anak2 bapak yg lain. Semua berawal saat ibu mulai sakit. Diagnosis dokter, ibu mengidap penyakit cancer. Lain dokter, lain penyakit. Entahlah, saat itu aku masih duduk di bangku kelas XI akhir semester. Hanya bisa menatap ibu yg semakin hari semakin mengkhawatirkan. Semua berawal pada saat itu. Awal pecahnya perang dingin. Awal semua kebencian menguak perlahan. Awal desis yg tidak mengenakkan. 18 Oktober 2015, Ibu pergi untuk selamanya.All Rights Reserved
1 part