"Cinta telah membunuhmu, Ibu," ujar Layka, menatap perempuan yang tengah terbaring tak berdaya di depannya, di atas kasur tua yang terlihat keabu-abuan di ruangan yang terselimut kegelapan. Aroma pengap bercampur amis darah menjajah ruangan itu, menghiasi kegelapan bersama segaris cahaya yang jatuh dari celah jendela, membuat debu-debu yang berterbangan terlihat seperti hujan salju di musim dingin. Ruangan itu berduka. "Cinta yang kau biarkan tumbuh liar, hingga menyakiti." Tak ada air mata yang jatuh setetes pun. Tak ada isakan. Bahkan tidak penyesalan. Tak ada yang tersisa, selain cinta yang tulus. Cinta yang semestinya wajar. *** Terlahir berbeda, dengan penampilan yang tak enak dipandang mata, Layka tumbuh hanya mengenal satu orang manusia saja, Ibunya. Walau kasih sayang yang diterimanya tak pernah kurang, dia masih saja merasa kurang. Hingga akhirnya dia memilih untuk membunuh ibunya. Sebab itulah satu-satunya cara agar kesedihan ibunya berakhir. Tak ada jalan lain lagi. Layka bisa saja bunuh diri, membiarkan dirinya yang membebani ibunya pergi untuk selama-lamanya. Tapi itu mustahil. Bukannya dia tak pernah mencoba, tapi percobaannya selalu gagal. sebab satu fakta yang pasti, satu ketakutan yang menghantui Layka sejak kecil, adalah bahwa dia dikutuk oleh berkah. Atau diberkahi oleh kutukan. Entah apa sebabnya, Layka tak bisa mati. Seberapa kali pun dia mencobanya, tak ada gunanya. Namun, rencananya tak berjalan sesuai keinginannya. Pertemuanya dengan Heno pun membawanya ke sebuah perjalanan yang mesti dilakukannya. Perjalanan mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Perjalanan yang diisi dengan harapan pengakhiran. Perjalanan menuju ke kematian.