"Tomi". Panggilan Kania kini merubah pandangan gue menjadi menatap mata beningnya.
"Ya?"
"Sekarang, kamu tahu kan kalau aku ga pernah main main sama perjanjian kita?" Udah gue tebak sebelumnya kalau obrolan kita berakhir dengan bahasan yang -sejujurnya-, bikin gue ngerasa bersalah. "Ya, aku harap kondisinya terus kayak gini. Buat sementara waktu. Sampai kita berhasil menangin permainan ini, Tom."
"Kapan itu?"
"Dont know, kamu lebih tahu, Tomi. Peranku disini cuma bantuin kamu."
"Why?"
"I want my life will... settle down. I'm in twenty eight, almost twenty nine. Udah cukup aku main main sama Rendra kemarin". Perempuan mana yang ga pengen segera menikah dengan orang yang dicintainya, hidup tenang, punya anak. Semuanya pasti pengen. Tapi, boleh ga sih kalau gue ini berharap lebih sama Kania?
"Sama aku main main?" Sepintas, kata kata gue jadi ala ala womanizer gini. Bukan. Gue cuma pengen dapat kejelasan, dimana letak gue di hati dan pikirannya Kania.
"We just discussed about this game, kalau kamu ga lupa, Tomi." Kania mengeratkan genggaman tangannya dicelana. Menatap perapian dengan pandangan yang nanar.
Rank 02 #metropop as per 27/03/20
Rank 01 #politik as per 08/01/20
Rank 01 #marriagelife as per 09/03/20
Rank 03 #jatuhcinta as per 13/03/20
Rank 01 #marriage as per 22/03/20
Rank 05 #metropopindonesia as per 12/07/20
Rank 02 #dokter as per 1/1/2021
"Kau telah terikat dengannya, Alana."
Malam itu burung gagak membawa kabar buruk yang akan menghancurkan seluruh hidup Alana, sebuah kutukan yang membuatnya harus terikat dengan seorang iblis kejam. Masa indah SMA-nya itu suram hanya dalam waktu semalam, apalagi setelah batasan dua dunia melebur begitu saja di depan matanya, membuka segala pembatas antara manusia dan mahluk tak kasat mata.
Tidak ada ketenangan sama sekali setelah mereka yang halus kini terlihat, lalu labirin kematian tanpa ujung juga mengujinya. Akankah dia mampu terlepas dari kutukan itu?
Apakah Alana bisa menghadapi itu semua?