Ia punya cara pandang yang berseberangan dengan kebanyakan orang di rumah. Rindu tak setuju jika perempuan hanya berada di sekitar sumur, dapur, dan kasur. Rindu memutuskan untuk 'membuang' dirinya sebagai perantau. Berbekal mimpi yang digadang-gadangkan, Rindu hidup menantang nasib di hutan baja Ibu Kota. Bertahun-tahun setelahnya, ia menenggelamkan diri dalam kesibukan. Bangku kuliah telah terlewati, dan ia pun menjadi seorang wartawan di salah satu media nasional. Sampainya akhirnya ia pun menyadari jika banyak hal yang terlupakan dari dirinya yaitu orangtua, kampung halaman, dan jodoh. Jika bukan karena kalimat 'penggantung' itu, Rindu tentu tidak akan ragu untuk hidup bersama dengan seseorang. Menikah? Di sisi lain, satu sileut kedua orangtuanya terus membayangi. Terkhususnya Amak. "Biar Nuriah saja yang duluan, Amak. Aku belum ingin menikah," pertanyaan yang seringkali membuatku mual itu muncul kembali. "Tidak mungkin rindu, kau itu anak perempuan pertama dan ada Nuriah. Indak elok dilongkahan adik, Kau!" Amak berhenti menyendokkan nasi dan meletakkan sendok begitu saja. Raut wajahnya cemas bercampur sedih. Perpaduan yang membuat hatiku semakin runyam. "Aku baru wisuda Amak, dan.." "Dan apa?" Amak memotong, seketika pandangan Rindu seakan jauh dari rumah. "Ada yang ku tunggu dan ingin selesaikan," tandasnya, berusaha merendahkan nada suara.
1 part