Merantau

Pergi ke tempat yang jauh memberikan sebuah sensasi yang macam-macam.Selayaknya sebuah diksi tidak begitu berarti lagi dan ketakutan menjadi hal yang pasti. Takut dengan orang baru, hal baru dan lupa akan keinginan untuk mati. Tersisa sebuah kekhawatiran . Depresi baru. Penyakit lama. Saat ketidakyakinan menjadi sebuah kepastian, diam adalah sebuah pilihan terakhir. Walaupun sedikit banyak meratap dan menyalahkan diri sendiri, kenapa dulu aku tidak begini, tidak begitu jadi aku bisa begini dan bisa begitu. Itu terjadi bukan sehari dua hari, seminggu dua minggu. Ironinya, dunia terus berjalan, berlarian bersama waktu, seakan takut besok sudah berhenti. Ia terburu-buru untuk sebuah raga yang tidak bergeming.
Dan suatu hari, tidak ada pagi yang cerah, atau dramatisasi hujan di awal hari, perasaan itu hilang, bukan, menipis. Tidak lagi khawatir, lebih mendekati pasrah. Menegaskan untuk sudahi atas kelelahan berfikir dan mencemaskan yang tidak terjadi. Besok hanya besok dimulai dengan bangun dan tidur kembali. Setidaknya jika Tuhan tidak mengizinkanku untuk pergi dan tak kembali.