Broke Up did not destroy The Future. Its slicing the soul, inch by inch. Ia pikir ia mampu mengatasinya, sampai ketika Sasuke membuat dua cangkir teh lalu menyadari bahwa ia kini hanya sendirian. Tidak mudah menyesuaikan diri setelah seperempat dekade terbiasa hidup dengan, yang selama ini ia pikir adalah, belahan jiwanya. Ia seketika disorientasi akan segala hal di sekitarnya. Ranjang menjadi teramat luas. Apartemen terasa kian mencekam oleh sunyi. Peralatan makan yang kini ia sadar terasa lebih banyak dari yang ia mampu gunakan. Dan pakaian-pakaian yang sekarang hanya menyisakan satu aroma tubuh saja. Hatinya menjerit. Tapi air mata sudah tidak ingin lagi menuruni wajahnya. Rasanya terlalu sakit, bahkan sampai menangis pun tidak akan cukup untuk menggambarkannya. . . "Why?" Tenggorokan Sasuke mengeras sejadi-jadinya ketika jeritan yang seharusnya keluar menyembur hanya berakhir menjadi sebuah suara sakit tertahan oleh pilu diantara geraham. "...I just can't do this, anymore, Sas. Let's just break up." Naruto tidak memandangnya. Pemuda itu kalut. Keputusannya yang telah bulat adalah satu-satunya yang ingin ia tunjukkan pada Sasuke, meski mata birunya sendiri tidak pernah merasa tenang memandang ke depan ketika mengatakannya. . . . (((AKS sedang mencoba menantang diri untuk bikin panpik menye menye. Milih Sasuke buat menderita disini, karena yeah, cocok aja gitu sama karakter beliau)))All Rights Reserved
1 part