"Bagaimana hubunganmu dengan Gezz?".
Seorang sahabat bertanya padaku. Senyuman rasa ingin tahu terpampang jelas di wajahnya.
Sejenak, aku tersenyum, bukan karena terinfeksi dengan senyumannya, namun karena kata yang berada di akhir kalimat pertanyaannya.
Nama itu, aku ingat dengan betul bagaimana nama itu keluar dari mulutku untuk pertama kalinya.
Gezza,
"Ya?, ada apa, my sweet?"
Begitu caranya menyahut ketika aku memanggilnya.
Aku memejamkan mataku, bernostalgia, mengingat kembali kenanganku dengan pria itu.
"Apa yang membuatmu mencintaiku, gezz?"
Gezz semakin mempererat pelukannya ketika mendengar pertanyaanku.
Jawaban darinya selanjutnya membuatku harus berpikir keras.
"Aku tak punya jawaban untuk pertanyaanmu itu, sweet. Mungkin saja, karena aku mencintaimu tanpa karena."
Aku menatap gezz, mata birunya menatap balik padaku dengan lembut penuh kasih sayang.
Sesekali dia mengusap kepalaku, mungkin dia tahu aku terlalu berfikir keras untuk memahami ucapannya.
"Lalu, bagaimana aku tahu, jika kau benar benar mencintaiku?"
Sebuah senyuman kini menghiasi wajah tampannya. Deru nafasnya menerpa wajahku.
Siapa saja yang melihatnya pasti mengira kami kini tengah berciuman. hidung mancungnya bersentuhan dengan hidungku, membuat bibir kami hanya terpaut jauh beberapa centi saja.
"Jika bulan bisa berbicara, maka dia akan bercerita tentang seberapa dalam aku mencintaimu."
"Perlukah kamu tahu,
Jika hening malam aku rindu.
Dan jika terik siang aku mengagummu.
Itulah, kebiasaanku."
Aku tersenyum, untuk ke sekian kalinya dia kembali membuatku terpesona padanya.
Gezz memang seperti itu, dia punya cara tersendiri untuk mengekspresikan perasaannya. Dan bahagianya, itu hanya di tunjukannya padaku.
"Akh, Gezz. Dia bukan pria romantis apalagi humoris. Dia hanya pria dingin yang membuatku selalu penasaran terhadapnya. Namun siapa yang menyangka orang dingin sepertinya, ketika tiba tiba bersikap romantis, bahkan es di kutub pun bisa meleleh".
Mata itu tiba-tiba terbuka dan menatapku. Langsung ke manik mataku.
Aduh, copot deh ini jantung. Tali mana tali, buat ikat jantungku biar nggak jatuh. Hiks tolong....
"Kamu jangan pergi, temani aku disini," ucapnya pelan lalu memejamkan matanya lagi.
"Hah? Mm... iya," gumamku sambil mengangguk pelan, meski ia tak melihatnya.
"Kakak kenapa mabuk?" tanyaku memastikan apa ia bisa di ajak berbicara dengan normal. Lagi pula orang mabuk biasanya akan berkata jujur. Ku pikir dia ada masalah, meski jahat sih jika mendengar curhatan orang yang sedang mabuk, sedangkan aslinya ketika sadar ia akan memusuhiku lagi.
Ilsya hanya tersenyum dalam tidurnya. Lantas tak lama bibirnya tiba-tiba melengkung kebawah, terlihat cemberut.
Aku nyaris tersedak liur menahan tawa melihat ekspresi wajahnya yang dapat berubah-ubah dengan sendirinya.
"Aku nggak suka liat kamu dengan orang lain." Jawabnya dengan raut wajah yang masih sedih.
WHAATT?!! Ng-nggak suka, aku dengan yang lain? Sialan Monster ini, meski dalam keadaan mabukpun dia masih bisa membuatku grogi.
"Maksud kakak apa?" tanyaku penasaran.
"Aku suka kamu, bodoh!" jawabnya lantang, terdengar jelas di telingaku.
Jedaaaaaaar......
Siapa yang sangka jika cinta bisa hadir dari rasa benci, dari caci, dari maki. Hinggi bersemi dalam hati tanpa bisa dipungkiri. Cinta ya cinta, tak memandang status, tak mmandang harta, derajat, ras, agama, dan jenis kelamin. Jika cinta telah menancapkan panahnya, siapapun takkan mampu menampiknya.