Setelah kematian sang ayah, Mursal harus bergulat kesusahan dalam hidup. Dari mengurusi ibu yang lumpuh, sampai berpikir apakah ia bisa meneruskan sekolah atau tidak, lantaran tak ada yang membiayai sekolahnya lagi begitu tulang punggung keluarganya itu meninggal dunia. Akhirnya, dia melanjutkan sekolah Di SMA. Dengan uang sumbangan kematian sang ayah, yang masih tersisa, juga dengan bekerja apa saja, sampai akhirnya perjalanan itu pun pupus lantaran tak ada uang buat ongkos untuk pergi ke sekolah. Sementara untuk berjalan kaki sudah dilakukannya dan ia pun tak bisa menahannya lagi. Karena sesuatu hal, akhirnya ia kembali lagi ke sekolah yang lain, SMA swasta, dan kembali bersekolah di sekolah ini pun tak mudah. Sepulang sekolah, ia harus bekerja dari pukul enam sore hingga pukul sebelas malam. Belum lagi hari Minggu dia harus bekerja full di sebuah rumah makan. Hambatan lain pun menghadang. Dari nilai yang jeblok, prestasi yang merosot. Bahkan, Mursal yang pintar harus mendapatkan peringkat terendah. Setelah sebelumnya dia adalah siswa pintar yang selalu berpredikat tiga besar. Jalan berliku harus dilampaui Mursal kemudian, hingga dia seakan putus asa. Menyerah pada takdir. Berceloteh pada Tuhan yang rasanya tak adil di hidupnya. Mampukah Mursal menuntaskan bangku SMA-nya? Adakah pelangi esok hari yang dilihatnya, setelah selama ini hidupnya serasa dilingkupi hujan badai yang menggoncangkan langkahnya. Kejamnya hidup harus dilawan. Dan Mursal berusaha melampaui jalan berliku itu demi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.