Kamu hidup, berjalan, beristri dan beranak pianak sebagaimana layaknya orang lain di usia tiga puluhan tahun. Kemudian bagaimana jika tiba-tiba saja seseorang berkata kepadamu: "Mustahil, Gilang! Kamu telah mati lima belas tahun lalu!" Itulah yang terjadi padaku, hanya beberapa hari setelah aku menerima kiriman diary aneh dari tahun 2007. Gila. Itu sudah lama sekali. Aku membukanya, dan itu sungguh-sungguh tulisan tanganku sendiri. Seingatku, tak pernah sekalipun aku menulis diary hingga bertumpuk-tumpuk... dan aku tak pernah punya kawan, kolega, atau sanak famili bernama Aksa Jayadi. "Saya Gilang Pranata," aku meninggikan suara, separuh memekik ngotot pada perempuan tua yang matanya nyaris lepas menatapku, berusaha membuatnya yakin bahwa aku ini manusia yang masih dibalut daging dan darah. "Aku pasti bermimpi!" rajamnya balik. "Tak mungkin kamu Gilang. Tak mungkin!" Darahku makin panas. Perempuan tua itu tak beda dengan Warti. Kalau sudah tabiat perempuannya kambuh, dia suka bicara sembarangan. Segala uncaran mentah dimuntahkannya tanpa kenal adat. Nyonya yang satu ini sama saja. Kami tak pernah bertemu. Aku hanya bermaksud bertamu, dan aku disambut dengan jeritan ngeri seolah-olah aku ini hantu. Cara terburuk menyambut tamu di sepanjang hayatku. Seberapa hebat pun aku membela diri, perempuan itu tetap tak hirau. "Sepuluh tahun lalu aku ada di barisan terdepan ketika mayatmu dikubur," getirnya. "Dua bola mata di wajahku ini saksinya. Keduanya masih mata yang sama. Tak mungkin kedua mata ini berdusta kepada pemiliknya!"