Narpati, seekor elang muda yang gagah lagi mencengkeram seeokor tikus gendut. Untuk siapa? Biasalah, pasti untuk Si Kavi (sahabatnya)… seekor ular cobra yang kedua matanya sakit parah karena beberapa bulan yang lalu berkelahi dengan Si Jolod… seekor elang gunung. Jika sudah main di sarang Kavi, maka rasa malaspun datang. Narpati sering tidur di sarang Kavi supaya tidak disuruh latihan terbang oleh Si Suro… Bapaknya Narpati.
Suro juga bersahabat dengan Kavi. Kini mereka lagi berdua. Mengetahui kedua mata sahabatnya belum juga sembuh, hmm… Suro ingin balas dendam membunuh Si Jolod. Baru aja akan pergi ke Jolod, “Dorrrrr”, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata api milik Kesowo… timah panas menembus dada Si Suro. Tak sempat menjerit, diapun terkapar bermandi darah. Kavi panik, dia berniat ingin sembunyi di dalam tanah tapi kedua matanya tak bisa melihat. Sempat dia terantuk batu, tapi syukurlah, diapun menyelamatkan diri sembunyi di rerumputan.
Emosi Narpati tak terbendung. Cuaca hampir hujan, mendung pekat hadir tiba-tiba dengan disertai kilat menyambar bersahutan. Narpati terbang menuju ke langit sambil teriak sekuatnya. Diapun sampai di dalam awan gelap. Dia melihat sambaran petir di dalam awan tersebut, bukannya takut, dia malahan terbang menuju ke petir yang menyambar tersebut sambil berkata keras, “Wahai petir, ayo bunuh aku! Ayo… hiks… hiks… aku ingin merasakan kematian. Aku ingin… ayo bunuh aku! Bunuh aku!”
Tak juga mati, Narpati meninggalkan gumpalan awan hitam, dia terbang dengan sangat cepat menuju ke arah gunung. Jiwanya menangis, “Aku akan menabrakkan kepalaku ke tebing itu. Hiks… hiks… wahai ayah, sebentar lagi aku akan menyusulmu.” Awalnya terbang dengan kecepatan sekitar 100 km/jam. Tiga menit kemudian, kecepatannya naik drastis menjadi sekitar 140 km/jam. Di depan sudah nampak tebing cadas. Asa Narpati remuk, dia memejamkan mata sambil menambah kecepatan terbangnya hingga sekitar 180 km/jam. Belum pernah dia terbang dengan kecepatan segitu.
"Resusitasi adalah prosedur medis darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang saat pernapasan atau jantungnya berhenti. Lakukan dengan segera dengan Posisi tangan harus pas hingga proses kompresi jantung bisa maksimal. Tapi tentunya akan ada efek samping, salah satunya patah tulang."
Satu bait penjelasan medis yang malah membuat mata dr. Adis berkaca-kaca ingin menangis. Padahal penjelasannya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kisah hidupnya. Namun ketika ia renungkan semakin dalam, analogi itu sangatlah cocok.
Bahwa ia bertemu dengan seorang pria yang sedang sekarat dalam urusan percintaan. Seorang pria yang pernah patah hati hingga mati rasa. Jantung bagian percintaannya berhenti berdetak. Lalu dengan polosnya, Adis mencoba memberikan pertolongan dengan cara menyentuh jantung hatinya. Memberi tekanan-tekanan cinta, berharap jantung hati pria itu akan kembali berdetak normal hingga bisa kembali merasakan jatuh cinta.
Namun sayangnya Adis tidak memperhitungkan lebih jauh lagi bahwa berhasil atau tidak berhasilnya resusitasi yang ia berikan pada pria itu, tetap akan menimbulkan efek patah hati.