20 Части Текущие Di antara lorong-lorong masa tua yang sunyi, di sebuah kamar bernomor tujuh di kota kecil Salatiga yang dingin dan penuh embun, dua lelaki tua duduk bersebelahan. Satu terbaring dengan mata nyaris kosong, satunya lagi menyisir rambut pasangannya dengan kelembutan yang nyaris menyakitkan. Suara dari walkman tua mengalun pelan-lagu lawas yang menyimpan lebih dari sekadar melodi: ia menyimpan hidup.
Begitulah kisah ini dimulai. Dengan sebuah lagu. Dengan sepotong waktu yang tidak bisa diulang, tapi bisa diputar ulang.
kembali ke tahun 2000, saat Damai, seorang remaja Jogja yang spontan dan hangat namun peka terhadap detail-detail kecil dunia, bertemu dengan Alam -anak Jakarta yang dikirim ibunya untuk 'beristirahat dari kebisingan'. Alam membawa kegelisahan seorang anak yang belajar menelan sunyi. Jogja menjadi panggung bagi pertemuan mereka, tapi bukan sekadar latar: kota ini adalah karakter ketiga dalam hubungan mereka. menjadi ruang di mana Alam dan Damai berjalan bersama. Membicarakan hal-hal kecil. Makan roti isi sambil duduk di stadion kosong. Mandi di Kali Winongo, ciprat-cipratan seperti bocah. Tidak ada yang berbeda . Yang ada hanya kehangatan yang tumbuh perlahan-dan itu cukup. Bahkan mungkin lebih dari cukup.
Seiring tahun-tahun berlalu, mereka tumbuh. Dunia berubah. tubuh Alam mulai memudar. Tapi tidak kenangan mereka. Setiap sore, Damai memutar lagu dari kaset mereka yang lusuh dan di sinilah pembaca akan memahami: bahwa surga, seperti yang mereka bicarakan di usia lima belas di stadion tua, bukanlah tempat. Surga adalah momen. Adalah keberadaan yang lengkap, bukan sempurna. Adalah hari-hari ketika kamu merasa cukup, tanpa perlu memiliki segalanya.
untuk damai adalah cerita
tentang rumah yang bukan hanya tembok dan atap, tapi mata seseorang yang mengenal kita tanpa harus dijelaskan. kisah yang akan membuatmu berpikir, walau hanya sekali dalam hidupmu: kalau ini bukan surga, aku tidak tahu apa lagi.