"Sama Rony!?!"
Perkataan histeris yang selalu kudengar setiap ada orang yang sekelompok denganku.
Yaa aku Rony.
Aku memang sudah biasa diperlakukan seperti itu. Tapi jangan salah ini bukan karena tampangku, kok. Aku bukan bocah kampung yang ingusan.
Tapi aku memang bisa dikategorikan murid yang jorok. Aku membiarkan sepatuku ini kotor dan tidak tercuci, aku juga membiarkan tasku yang sudah kucel ini, dan baju seragamku memang tak serapi dan sebersih murid lain.
Tapi, aku bukan orang yang sangat jorok. Sekolah mana mau menerimaku jika aku makan upil dan ingus.
Yaaa.. tapi aku juga cuek, tidak pedulian, malas tak karuan, bermuka songong kata orang-orang, hal itu membuat orang-orang makin mengucilkanku.
Tapi yang belum mereka tahu, aku introvert.
Hal tersebut membuatku sulit mendapat teman dan membuatku selalu duduk di pojok kelas sambil menggunakan earphone.
Mereka lebih sering memanggilku 'freak' daripada mengetahui kepribadianku yang memang 'introvert'. Maka, sekolah adalah salah satu tempat yang paling kubenci.
Tempat dimana tidak ada yang mengerti aku.
Tempat dimana aku selalu dipojokan
Tempat dimana sikap cuekku merajarela
Tapi, karena suatu hal, sikapku yang menjengkelkanku ini hilang.
Karena suatu hal yang seharusnya tidak aku cari tahu....
Namun, sudah terlanjur, aku harus menyelesaikan semuanya.
Semua yang sudah aku mulai
Karena akan ada permainan darah yang akan dimulai
Ketika seorang arsitek muda, tampan, mapan, dan dingin bernama Banyu Biru menyakini bahwa jodoh adalah cerminan diri, maka dia cukup percaya diri bahwa jodohnya kelak adalah seorang gadis pendiam yang santun dan tidak suka neko-neko.
Banyu Biru belum melakukan kodratnya sebagai makhluk bergender pria, yaitu memilih. Kepercayaan dirinya pada keyakinan tentang jodoh adalah cerminan diri, membuatnya belum menjatuhkan pilihan di usianya yang ke 28 tahun. Banyu belum menemukan gadis sesuai dengan apa yang dia yakini. Ditambah lagi, jejak masa lalunya yang pernah merasa jatuh cinta pada seorang gadis yang dirasanya adalah tipenya, membuatnya anteng saja di usianya yang sudah matang.
Pun ketika insiden sebuah mobil tertimpa pohon tumbang di kafe di depan kantor Dinas Tata Kota, membawanya berurusan dengan gadis bernama Dian Agni Pangestika, sang pemilik mobil. Agni yang cantik itu justru membuat Banyu terkaget-kaget karena gadis itu begitu blak-blakan dan seperti tidak berniat pelan-pelan saat membuat laporan ke kantornya.
Kata Banyu, dari gaya bicaranya, Agni itu berandalan. Gadis 22 tahun itu bahkan secara terang-terangan menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala seakan melucutinya tanpa malu.
"Mas jodoh, tolong urusan ganti rugi ini dipercepat nggih? Saya harus pergi sekarang."
Kata-kata Agni itu seketika membuat Banyu Biru membuat benteng setinggi langit dan sepanjang garis cakrawala di depan Agni.
Banyu Biru dan Dian Agni dari kacamata kalian.