Sebut saja namanya Anton. Lelaki hitam manis berpawakan gagah berbody kekar berprofesi sebagai Debt Collector. Tiap mengais setorannya selalu emosional, amarah selalu mencengkeramnya, tak sabaran, namun lemah lembut. Sungguh berlawanan dengan profesi yang digelutinya. Namun dia orangnya asyik sih.
Aku mengenalnya, ketika aku duduk di tenda Honda itu. Marketing tunggal yang harus mampu meng-handle semua pekerjaan seperti dealer. Katanya malah lebih berat, tapi tetep aku jalani dengan enjoy. Pekerjaan pembukuan, laporan keuangan, spg, memarkirkan motor di tenda kemudian mengembalikan kembali ke sewa rumah orang. Maklum tendanya ada di pusat keramaian.
Berawal dari situ, aku mengenal pribadi para Collector dan Surveyor. Bahkan lima Finance aku tau betul dan mengenal mereka. Mengenal mereka, itu sangat membantu tugasku. Apalagi, mereka juga sering ngasih kode, tentang makelar nakal yang berkeliaran. Para awak finance itu sering bertandang ke tenda, mengecek ada order masuk di finance mereka, atau hanya sekedar duduk melepas lelah, karena seharian bercokol pada pekerjaannya itu.
Singkat cerita, aku tau betul karakter, dan keluh kesah mereka. Kepribadian yang mengusik nasabah yang telat pembayaran kredit motornya. Terkadang sampai susah mereka ambil hak pembayaran itu. Begitu juga tanggung jawab mas Anton tidak jauh beda dengan para debt collector lainnya. Selalu bermuka masam ketika mereka pulang dari nasabahnya. Dapat duiut,,,enggak. Orangnya malah minggat. Dan saya terkecoh oleh smsnya. Pusing....pusing...tiga harian aku kesana. janji-janji melulu. Udah nunggak dua bulan. Nggak ada respeknya tuh orang. Umpatan kasarnya sambil menggebrak meja tendaku.
Tiap hari, melulu seperti itu. Sampai suatu ketika aku beranikan diri menyemangatinya. Sabar mas, semangat. Ambil air wudlu, biar adem. Anton hanya tertawa, katanya saya jauh dari gituan. Sudah lama dia ingin taubat, mendekatkan diri pada-Nya. Berlatih sabar, Namun tidak sempat katanya. Bahkan lupa, capek seharian.
Ketika seorang arsitek muda, tampan, mapan, dan dingin bernama Banyu Biru menyakini bahwa jodoh adalah cerminan diri, maka dia cukup percaya diri bahwa jodohnya kelak adalah seorang gadis pendiam yang santun dan tidak suka neko-neko.
Banyu Biru belum melakukan kodratnya sebagai makhluk bergender pria, yaitu memilih. Kepercayaan dirinya pada keyakinan tentang jodoh adalah cerminan diri, membuatnya belum menjatuhkan pilihan di usianya yang ke 28 tahun. Banyu belum menemukan gadis sesuai dengan apa yang dia yakini. Ditambah lagi, jejak masa lalunya yang pernah merasa jatuh cinta pada seorang gadis yang dirasanya adalah tipenya, membuatnya anteng saja di usianya yang sudah matang.
Pun ketika insiden sebuah mobil tertimpa pohon tumbang di kafe di depan kantor Dinas Tata Kota, membawanya berurusan dengan gadis bernama Dian Agni Pangestika, sang pemilik mobil. Agni yang cantik itu justru membuat Banyu terkaget-kaget karena gadis itu begitu blak-blakan dan seperti tidak berniat pelan-pelan saat membuat laporan ke kantornya.
Kata Banyu, dari gaya bicaranya, Agni itu berandalan. Gadis 22 tahun itu bahkan secara terang-terangan menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala seakan melucutinya tanpa malu.
"Mas jodoh, tolong urusan ganti rugi ini dipercepat nggih? Saya harus pergi sekarang."
Kata-kata Agni itu seketika membuat Banyu Biru membuat benteng setinggi langit dan sepanjang garis cakrawala di depan Agni.
Banyu Biru dan Dian Agni dari kacamata kalian.