26 parts Ongoing Sheila on 7, padatnya kota Jogja, dan ucapan selamat tidur yang dikirimkan dari jauh.
Setiap orang memiliki lukanya masing-masing dan kelak akan bertemu dengan penawarnya. Dalam bentuk obat, dalam bentuk pelukan, dalam bentuk sepasang mata yang cantik-dan bahkan dalam bentuk paling sederhana, presensi. Bagi gue, dia orang pertama yang mengerti, yang mengatakan apa yang tak larut dalam pikiran, karena lidah maupun isi kepala gue terlalu kelu untuk tahu apa yang gue rasakan.
Dia: orang yang menerjemahkan segalanya tanpa gue pinta.
Halte Bus, walkman tua, dan bangsal tulip Rumah Sakit Sardjito
Setiap menatap bayangannya, gue melihat lautan tenang, dengan rumah-rumah ikan, pantulan langit yang berkilat dipayungi rembulan, dan rasi bintang yang menunjuk arah pulang. Sedangkan gue adalah pantai yang penuh batu terjal, menghancurkan kapal yang tertambat, menunggu diselimuti pasang, dan meninggalkan udara dengan campuran alga dan garam.
Pantaskah gue mengharapkannya?
Gue nggak pernah tahu sejak kapan perasan ini bermula. Terus terang, gue juga nggak mengerti kenapa pikiran gue tiba-tiba menyeret serta bayangannya di setiap jeda. Tapi gue rasakan dada gue bergemuruh, dengan hebat, dengan kuat.
Gue menemukan tenang yang selama ini gue cari.
Dari mereka yang pergi.
Apartemen, bubur tanpa ayam, dan orang favorit nomor satu.
Dan tanpa gue sadari, gue juga menemukan pulang. Tempat gue bisa menjadi diri gue sendiri, di dalam tubuh yang selama ini nggak gue suka. Pada rupa lain yang nggak pernah perlihatkan pada siapapun.
Satu permintaan gue, gue ingin menyimpan lo untuk waktu yang lama dan nggak terbilang. Meskipun sebenarnya gue juga tahu, selamanya juga punya batas hitungan.
Jadi, jawab pertanyaan gue sekarang, "pantaskah gue mengharapkannya?"