Dio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan.
Sejak kecil, Anya asing dengan hangatnya keluarga. Hal itu membuatnya kesulitan menemukan makna hidup yang sebenarnya. Maka, saat Dio mengulurkan tangan untuknya yang sedang mencari penunjuk arah, Anya menyambutnya.
Adrian tidak bisa menyangkal lebih lama lagi, dengan Anya, sebagian yang hilang itu kembali hadir.
Bersama Dio, Anya merasa hidup. Namun, bersama Adrian, asing itu justru membuatnya aman.
Mereka terjebak di sebuah jalan yang dikira benar.
.
"Seandainya gue ungkapin perasaan ini dari dulu, apa lo masih menganggap gue sebatas teman?"
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens.
"Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gue, rotinya yang enak banget atau emang gara - gara dari orang special?" Mahes bertanya sambil menatap tepat pada mata Aira.
"Eh.. Tuan mau?" Aira mengerjapkan matanya.
"Mau, gue mau semuanya!" Mahes merebut bungkusan roti yang masih berisi banyak, kemudian langsung membawanya pergi. Aira reflek mengejar Mahes.
"Tuan kok dibawa semua? Aira kan baru makan sedikit," Aira menatap Mahes dengan raut memelas.
"Mulai perhitungan ya lo sekarang sama gue."
"Enggak kok, tapi kan rotinya enak, Aira masih mau lagi," Aira berkata dengan takut-takut.
"Ga boleh!" Mahes langsung melangkahkan kakinya ke arah tangga menuju kamarnya. Aira langsung cemberut menatap punggung Mahes yang mulai jauh.
Cerita dengan konflik ringan