Meyda Syafira tidak pernah membenci kaum laki-laki. Dia hanya bersikap antipati dan menjaga jarak sejauh mungkin karena dia tidak suka sisi melankolisnya terusik. Dia hanya menginginkan masa putih abu-abu yang tenang dan normal. Namun, kehadiran cowok tinggi dengan wajah yang cukup diidam-idamkan kaum hawa itu berhasil mengubah segala persepsinya. Ya, dia benci cowok itu. Dia benci ketika didekati, dijahili, dan dibaperin oleh cowok itu. Dan dia semakin benci saat cowok itu berhasil membangkitkan getaran kelemahan yang selama ini dia kubur dalam-dalam dan dengan perlahan menghantarkan dirinya dalam sebuah permainan emosi yang asing.