Kepergian sang Ayah tidak hanya membuat Ana hidup dalam kesendirian, namun juga meninggalkan wasiat yang membuat gadis 16 tahun itu tak habis pikir.
Ana masih menatap tajam selembar kertas di tangannya. Disana, tertera tulisan sang ayah beserta tanda tangan di atas materai yang membuktikan bahwa benar tulisan itu asli.
Bola mata cokelatnya terus bergerak-gerak mengikuti kalimat yang paling mencengangkan dirinya. Di sana, ayahnya menuliskan bahwa lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu menginginkan dirinya menikah dengan sahabatnya.
Ana menggeleng tidak percaya. Bagaimana mungkin sang ayah tega memintanya untuk menikah diusianya yang masih sangat belia ini. Akh, tidak. Bukan itu yang sesungguhnya dirinya permasalahkan, namun dengan siapa dia akan Menikahlah yang membuatnya merasa marah.
Tidakkah sang ayah berpikir kalau lelaki pilihannya itu lebih pantas menjadi ayahnya ketimbang suaminya? Sungguh, Ana rasanya hampir gila untuk menerima semua kenyataan yang terpampang nyata di hadapannya ini.
Dia, gadis berusia enam belas tahun yang masih duduk di kelas 2 SMA, harus menikah dengan Evan Narendro. Laki-laki yang usianya terpaut dua puluh tahun. Tolong dicatat, DUA PULUH TAHUN.
Lalu, apa yang akan terjadi dalam rumah tangga mereka kalau sampai Ana menyetujui pernikahan itu? Akankah rumah tangganya berjalan harmonis? ataukah akan selalu diwarnai pertengkaran dan berujung pada perceraian?