-FOLLOW DULU SEBELUM BACA-
Kejadian di hari itu tak akan pernah luput dr ingatannya. Kenangan yang terus saja terputar dalam benaknya, kenangan di mana ia kembali teringat memori tentang dirinya bersama wanitanya, memori di saat pertama kali mereka saling mengenal, saling dekat, hingga sedekat nadi di dalam suatu ikatan sakral pernikahan.
Athariz sungguh merindukan semua kenangan itu. Kenangan yang seharusnya perlahan ia ikhlaskan, justru kembali ia cari kenangan yang telah lama hilang. Perasaan rindunya yang kian membuncah, tak pernah bisa ia hilangkan. Bagaimanapun dan Apapun yang terjadi, ia harus bisa menemukan Nayara istrinya, pujaan hatinya.
Apakah Athariz akan bertemu kembali dengan kekasihnya ? Ataukah Athariz harus benar-benar rela dan ikhlas atas kepergiannya?
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Ini cerita pertama yang aku buat, pernah nulis dibuku tapi ilang, jadi lupa alurnya.
Ya semoga kalian suka<3 💕
Menikah karena dijodohkan dengan seorang yang dari segala sisi sempurna Arina mengira jika dirinya akan bahagia bersama dengan pilihan orangtuanya, tapi rupanya hidup tidak berjalan seperti yang Arina inginkan.
Sadewa Natareja, pria yang masuk ke dalam jajaran anggota dewan rakyat paling muda ini nyatanya tidak bisa menjadikan Arina sebagai seorang istri yang seutuhnya. Pengorbanan Arina menerimanya yang berstatus duda dan merawat anaknya yang berusia kurang dari satu tahun nyatanya tidak bisa membuat Dewa mencintai Arina seperti dirinya mencintai istri pertamanya, Husna.
Dimata Dewa, Arina tidak lebih dari seorang wanita yang dipilihkan ibunya untuk menjadi teman dibawah atap yang sama dan sosok yang menjadi ibu untuk putra kesayangannya sebaik apapun Arina berusaha menjadi istri yang baik untuknya.
Semua hal yang dilakukan Arina serasa tidak berarti sama sekali sampai akhirnya Arina lelah sendiri, meraih cinta suaminya nyatanya hal yang mustahil bagi Arina. Perlahan, Arina menjauh membangun benteng tinggi yang membuat Dewa tersadar betapa seharusnya dia bersyukur memiliki Arina dalam hidupnya.
Sayangnya, semuanya sudah terlambat.
"Mas Dewa, aku capek."