22 parts Ongoing Hujan turun perlahan di luar jendela kaca yang berembun. Aroma tanah basah dan kopi hitam memenuhi ruang tamu yang terlalu besar untuk dua orang asing yang tinggal di dalamnya.
Najwa duduk di pojok sofa dengan selimut tipis di pangkuan, matanya menelusuri halaman novel yang belum ia pahami sepenuhnya. Kata-kata tak benar-benar menempel malam ini. Seseorang di seberang ruangan sedang menelepon dalam bahasa yang tak ia pahami, tapi suaranya tenang... hampir seperti hujan itu sendiri.
Tengku Faiq berdiri membelakangi jendela, punggung tegap, rambutnya masih basah oleh air gerimis. Ia menutup telepon pelan dan menatap Najwa dengan pandangan yang tak menuntut, hanya mengamati. Mereka sudah tinggal bersama selama delapan hari. Tujuh malam sebelumnya berlalu dalam diam yang sopan, percakapan yang terlalu hati-hati, dan jeda panjang di antara pertanyaan sederhana.
"Esok saya harus ke Pekan. Awak ikut, atau tetap di sini?" tanyanya, nada suara datar namun tak dingin.
Najwa menutup bukunya perlahan.
"Apa harus ikut?"
Ia mengangkat alis. "Tak perlu. Tapi kalau awak mahu... ada tempat yang indah dekat pelabuhan. Lautnya seperti kaca."
Tak ada jawaban. Hanya sepasang mata yang saling menatap, seperti dua orang asing yang tersesat dalam rumah yang sama, mencoba menemukan arah, tanpa kompas yang pasti - kecuali waktu.