Kisah Neng Nada, gadis desa yang manis, bersama sang bunda pembuat ketan hitam dan sirup gula aren khas sunda, cita rasa diantara mereka begitu melankolis, tak saling mengindahkan dan mengguratkan tawa, tapi sebenarnya ikat batin keduanya ialah nyata, lebih dari hubungan ibu dan anak perempuan, lebih kepada satu jiwa yang dipisahkan raga, dua dan tiga.
Diga, dan Bagja kedua kakak yang menjadi dunia Neng Nada.
Bungsu ini yakin akan gemerlap impiannya, menggapai bintang bersama mereka. Meski ia beranjak dewasa, Neng Nada mengerti bukan hanya narasi yang harus ia bangun, melainkan ambisi, yang selama ini digembor oleh kedua kakaknya agar selalu terarah kejalan yang agamis, yang lebih realistis, dengan segala ajaran islam yang indah dan tertata dengan sistematis.
Seberapa banyak memikul beban dikeluarga, Diga, dan Bagja, menyembunyikan kesusahan, mereka dengan keadaan keluarga yang begitu payahnya, cerdiknya mata Neng Nada selalu melihatnya. Untaian do'a pengiring jerit batinnya terngiang, dikala petang jum'at hampir menghilang, hingga tertimbun ribuan embun malam.
Tak pernah jemu walau ada sendu, tak berhenti berkisah walau kerap berkilah, warna yang digores akan tetap terpampang dalam bentang kenang, di Desa sejuk nan gemilang di Parahyangan.
Neng harus awali pagi dengan lentera sukma dari petuah Bunda.
Dan akhiri petang dengan syukur menutur hingga cahaya mentari melebur.Все права защищены