Sebuah pesan yang terpasung dalam kegilaan angan-angan tak ubahnya doa yang semakin lama mengendus luka dengan begitu dalamnya membuat raut wajah yang dulunya sumringah kini menggambarkan tangis yang teramat dalam. Ada ambisi yang lusuh sebelum datangnya perjuangan, ada sayatan yang tak sempat terbungkus ratapan, bahkan asa yang tak pernah diijinkan membuka jendela tak ubahnya nelayan yang terjebak dalam angin besar tengah samudera. Sampai saat dimana hati berteman, bercerai, bahkan menjadi budak nafsu sekalipun, aku tak dapat hilangkan kebodohan yang sampai saat ini masih sering aku ratapi (kepergian tanpa permisi). Sebab penolakan dari rasa yang belum sempat terproklamirkan menjadikan aku seolah aktor tanpa skenario sehingga pada akhirnya aku hanya bisa menjadi wayang penuh tawa yang menangis dibelakang layar.