"Max, kenapa setiap manusia harus punya masalah?"
"Ya biar dia bisa bertumbuh."
"Tapi kenapa besar banget ya masalahku?"
"Gak ada masalah besar atau masalah kecil, Nar."
"Maksudnya?"
"Masalah itu sebenarnya sama. Sama-sama membuat resah, sama-sama menyulitkan. Tergantung bagaimana cara kita menanggapinya."
"Memang seharusnya tanggapan kita harus bagaimana?"
"Seharusnya bukan itu pertanyaannya."
"Lalu apa?"
"Bagaimana cara bangkitnya?"
"Bagaimana, Max?"
"Menerima, ikhlas."
"Sulit."
"Memang, tapi itu pilihan, Nar. Kamu mau terus sakit atau bangkit."
"Baiklah."
"Satu lagi, kerjasama dengan pikiran."
"Aku gak paham."
"Nar, masalah itu siapa yang ciptain kalau bukan pikiran kita sendiri? Karena sebenernya kalo kita gak mau menjadikan itu masalah. Gak akan jadi masalah."
"Tapi, Max. Gak semuanya masalah berasal dari pikiran, perasaan juga ikut campur tangan. Kita bisa mengontrol pikiran tapi tidak dengan perasaan."
"Kalau begitu kembali ke syarat yang pertama. Ikhlas."
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens.
"Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gue, rotinya yang enak banget atau emang gara - gara dari orang special?" Mahes bertanya sambil menatap tepat pada mata Aira.
"Eh.. Tuan mau?" Aira mengerjapkan matanya.
"Mau, gue mau semuanya!" Mahes merebut bungkusan roti yang masih berisi banyak, kemudian langsung membawanya pergi. Aira reflek mengejar Mahes.
"Tuan kok dibawa semua? Aira kan baru makan sedikit," Aira menatap Mahes dengan raut memelas.
"Mulai perhitungan ya lo sekarang sama gue."
"Enggak kok, tapi kan rotinya enak, Aira masih mau lagi," Aira berkata dengan takut-takut.
"Ga boleh!" Mahes langsung melangkahkan kakinya ke arah tangga menuju kamarnya. Aira langsung cemberut menatap punggung Mahes yang mulai jauh.
Cerita dengan konflik ringan