"Gue selalu tau apa yang gue mau, Lu. Tapi gue juga realistis, gue tau apa yang gue mampu. Gue tau gue mau lo, Lu. Dari dulu. Tapi gue juga tau gue ga akan mampu."
Lucia hanya bisa diam, walaupun kepalanya sangat berisik. Dia ingin mengatakan banyak hal, tapi bibirnya kelu. Dia tidak bisa bersuara.
"Jadi, kayaknya lebih baik ini gausah dilanjutkan. Gue minta maaf kemarin udah engaged juga dan sekarang kayak gini. Tapi, menurut gue, lebih baik ini diakhiri sebelum bahkan kita mulai. Just to avoid unnecessary things in the future."
Selain tidak bisa bersuara, Lu juga bahkan tidak bisa mengangkat wajahnya. Dia menunduk. Bukan tanpa alasan sebenarnya, tapi, salah satu faktor utamanya adalah karena dia merasa sangat sedih. Dan juga marah, di waktu bersamaan.
Tapi itu menyebabkan dia ingin menangis. Karena sedih. Dan marah.
Tidak ada lagi suara. Untuk beberapa saat, hanya ada keheningan. Nino sudah tidak lagi berkata-kata. Sepertinya dia sudah selesai.
"You know the exit door."
Terdengar - walaupun cukup halus - suara pintu yang membuka, sebelum kemudian menutup kembali; diikuti langkah kaki yang semakin menjauh.
Dan akhirnya Lucia bisa mengangkat kepalanya. Memandang ruangan yang sudah kosong.
Sekarang bagaimana? Bagaimana dia bisa bilang ke bosnya kalau klien besar ini tidak jadi menggunakan jasa mereka?
---
Cover from weheartit and edited by me.
-
Ongoing stories:
+ Alleindra
+ Mauka Makai
+ As You Are
+ The Wedding
+ One Kiss
.
Started: 20 Maret 2020
.
Guess it's time to (finally) continue this one [03 05 2023]
Dinda merasa kulitnya terlalu putih dan dia ingin kulitnya lebih gelap makanya dia memutuskan untuk berjemur setelah berenang agar mendapatkan kulit yang lebih gelap.
Kulit putih sudah terlalu mainstream menurutnya. Karena Dinda sekarang di tugaskan di Bali jadi tidak bisa perlu kuatir dengan pendapat orang lain.
Dinda sedang mengoleskan lotion saat Jerome, tetangga apartemennya bersiap-siap untuk berenang. Usia Dina dan Jerome terpaut cukup jauh.