"Ayah!" ujar gadis kecil dipelukan Danu.
"Aku sayang, Ayah!" ucapnya lagi, dan kali ini Danu benar-benar terharu. Baru kali ini ia dipanggil dengan sebutan Ayah di umurnya yang hampir kepala tiga.
Danu mempercepat langkahnya menuju puskesmas terdekat, mengingat gadis itu sudah banyak kehabisan darah, lemas. Saat tiba di depan gedung putih dengan papan nama 'Puskesmas' yang terpasang di bangunan itu, gadis kecil tersebut tidak sadarkan diri lagi hingga ditangani oleh Dokter yang datang dari kota.
"Apa anda ayahnya?" tanya sang Dokter usai memeriksa keadaan gadis malang itu.
"Hm, a--aku... Aku bukan ayahnya ataupun keluarganya." jawab Danu.
"Keponakan saya menemukannya di hutan saat kami mencari kayu bakar!" sambungnya takut dikira penculik apalagi pembunuh oleh orang lain, sungguh ia tak sekejam itu.
"Oh, baiklah ikut ke ruangan saya!"
Dokter menjelaskan bahwa gadis yang ia temukan itu sekarang sudah membaik, ia sangat bersyukur Danu membawanya tepat waktu kalau tidak mungkin nyawanya sudah melayang.
____
"Aku Arin, namamu siapa?" tanya keponakan Danu pada gadis yang baru pertama kali ia bawa berkeliling semenjak gadis itu dirawat.
Gadis itu hanya terdiam, karena sudah lama menunggu uluran tangannya diterima Arin segera menurunkannya. Gadis itu nampak bingung, yang ia ingat hanyalah ayah. Padahal yang ia panggil ayah bukanlah ayahnya, sungguh prihatin.
"Erwinda, namamu Erwinda." ucap Danu membuat semua tercengang, termasuk Dani adiknya.
"Istrimu, itukan nama istrimu," ujar Arum adik iparnya itu.
"Ya, kurasa nama itu cocok untuknya!" senyum kini terlukis di wajah Danu, sebelumnya hanya ekspresi datar yang ia tunjukkan setelah kepergian Erwinda istrinya.
Gadis Itupun ikut tersenyum, sepertinya ia menyukai nama yang diberikan kepadanya.
Sebuah pernikahan yang menyiksa bagi Kia, ia harus menikahi pria paling mengerikan yang pernah ia jumpai. Marco benar-benar pria yang tidak ada belas kasihan, dia bisa membunuh istrinya sendiri demi keinginannya sendiri, hal yang paling menyakitkan adalah saat Marco melempar tubuhnya dari lantai tiga dan yang membuat Kia tidak bisa berpikir dengan jernih adalah saat ia terbangun kembali setahun sebelum kejadian mengerikan itu.