Bagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidaknya, mereka memiliki satu kesamaan, sama-sama tidak suka fanatisme.
Perlintasan rasa mereka lewati dengan cara masing-masing, juga ... mungkin kerja sama. Meski pada akhirnya, salah satu benar-benar menyimpan rasa yang berbeda karena logika. Tak ada yang ditutupi, ini bukan romansa dengan tokoh yang cinta dalam diam. Ini hanya kisah persahabatan dalam beda, cinta tanpa sama, feminisme secara sederhana, filsafat yang semoga tidak menggila, sejarah seadanya, juga ... toleransi seutuh-utuhnya.
_________________
Warning!
Cerita ini penuh dengan pemikiran-pemikiran berat, diskusi mendalam, serta topik-topik sensitif terutama masalah Ketuhanan. Kaum fanatik harap jauh-jauh karena pengupasan masalah akan menitikberatkan pada pandangan filosofis, bukan agamis.
Jenjang pendidikan yang baru. Kawan-kawan yang baru. Dunia yang baru. Stereotipe yang baru. Begitulah yang dialami Logika ketika mempelajari ilmu filsafat sebagai mahasiswa baru. Ia bukan hanya harus mengatasi kecemasan keluarganya yang konservatif, melainkan juga menghadapi generalisasi yang dilemparkan oleh kakak tingkatnya ketika mendapati selera berbusananya yang religius.
Filsafat dan theisme-religius seolah tak boleh bersanding, dan Logika berupaya untuk membuktikan bahwa streotipe semacam itu, yang bahkan terlontar dari sesama mahasiswa filsafat, benar-benar tak berdasar.