Semua dimulai ketika seorang laki-laki bernama Dion mengalami sesak napas dan pusing. Sandra, sang pacar yang kala itu sedang duduk di hadapan Dion bersaksi kalau pacarnya baik-baik saja ketika mereka tiba di warung kopi ini. Keduanya sama-sama memesan white coffee. Satu sruput kemudian, napas Dion mulai berat dan wajahnya sepucat buih kopi di cangkir mereka. Sandra mulai panik karena Dion bangkit dari kursi sambil meremas perutnya. Ruben, sahabat kedua orang ini, sedang berada di kamar kecil ketika ia mendengar suara teriakan dari luar yang dikenalinya sebagai suara Sandra. Ia bergegas keluar dan melihat kerumunan penikmat warung kopi yang melingkari meja yang tadinya diduduki Sandra dan Dion. Ia membelah keramaian itu dan mendapati Sandra yang menangis dengan begitu keras sambil memegangi kepala Dion. Dari mulut dan hidung sahabatnya itu mengalir darah segar. Pemilik warung segera menelepon polisi dan meminta semua orang menjauhi tubuh Dion yang sudah tidak sadar. Dua orang lain tiba di warung itu, Xaverius dan Diana. Mereka berdua harus ditahan oleh Ruben agar tidak menyentuh tubuh Dion. Xaverius meronta dari balik bahu lebar Ruben, sementara Diana tidak kuasa menahan lututnya yang tiba-tiba lunglai. Ia meringkuk di lantai, menatap mata hampa Dion. Lima belas menit kemudian, dua orang polisi muncul di TKP, Aipda Ester dan Aipda Arthur. Kini hanya tinggal Sandra, Ruben, Xaverius dan Diana serta pemilik warung kopi tersebut. "Maaf," mulai pria gembul pemilik warung itu, "Saya sudah minta pengunjung lain untuk tinggal di sini sampai polisi datang. Tapi, mereka semua ketakutan dan pergi." "Ternyata ini lebih sulit," ujar Aipda Ester. "Tidak juga," celetuk rekannya. "Pembunuhnya masih di sini."