Sore itu,,,,
di kursi halaman, diri tersenyum merangkai imajinasi kehidupan dengan sang idola, ditemani dengan aroma teh yang menyegarkan dahaga. Namun, khayalan pecah saat mendengar langit senja bergemuruh hebatnya. Jingga telah berubah hitam, suara langit terdengarkan.
"Ayo masuk!" perintah ibu
Pukul 20.00 WIB.
Aku melihat dibalik jendala. Saat itu, malam pekat tanpa bintang setelah turun hujan. Udara dingin menusuk pakaian. Hingga, suara ponsel meruntuhkan dinginnya malam dan terbaca pesan bertuliskan, besok aku pergi.
Seketika, jariku lupa cara mengetik dan pikiranku kosong untuk membalas pesannya. Aku tidak ingin berpisah dengan tawaku. Aku masih membutuhkanmu untuk menopang tangisku. Bibir ini kelu untuk berucap ingin bertemu. Perpisahan ini mencuri senyumku.
Aku pergi tidur......
Mimpi burukpun tiba....
Pukul delapan pagi, aku mengetuk istanamu. Selembar kertas bertinta ditinggalkan untukku. Kenapa dirimu tidak menungguku? walau sekedar berucap sampai bertemu. Telat sudah, dirimu hanya menyampaikan lukisan rindu.
"Kita berpisah" ucapku.
Pesan sinyal selalu aku tunggu darimu, sejak hari itu.
~ sahabatku ~
(Aku tidak bisa membaca isyarat pesan pesawat kertasmu sehari setelah peristiwa kelulusan itu. Tiga tahun bersama dibangku SMA, meninggalkan album cerita bahagia hingga jejak luka. Doaku mengiringi cita-citamu) ucapku saat di perjalanan kembali kerumahku
Gween Calista, harus rela mengorbankan kehormatannya demi biaya pengobatan Geisya Putri, sang adik yang terbaring koma di rumah sakit.
Perempuan itu menerima tawaran dari sang Mami yang mengatakan bahwa pria yang membelinya ini adalah seorang impoten, dan beberapa kali menyewa jasa anak-anak Mami Flo untuk percobaan.
Apakah Gween akan berakhir sama dengan wanita-wanita lain yang dibeli Jero Axford? Gween berharap begitu, tapi nyatanya tidak.
Belum lagi fakta hubungan antara Geisya dan pria itu di masa lalu membuat Gween harus memukul mundur perasaannya yang mulai tak tahu diri menjatuhkan hati.