Ketika aku membawa diriku sendiri ke psikiater, vonisnya membuatku terbungkam. Surat rujukan di tanganku nyaris ku robek karena di atasnya tertulis diagnosis gangguan jiwa yang paling aku hindari. Sedikit sekali orang yang bisa menerima kondisiku tersebut. Aku bahkan harus kehilangan orang-orang terdekatku dan kehilangan harga diriku di lingkungan kampus. Karena aku tidak tahan dengan semua diskriminasi ini, aku memutuskan untuk berhenti mengonsumsi semua obat-obatan yang diresepkan psikiater. Kupikir aku akan baik-baik saja, tapi ternyata halusinasi itu kembali dan kali ini dia mencoba bicara padaku. Sejak saat itu, aku menyadari aku tidak bisa terpisah darinya dan aku merasa sangat hancur. Dalam kejatuhanku, aku terus bertanya-tanya. Bisakah aku berjuang menjaga sisa harga diri dan kewarasanku di tengah-tengah stigma yang merebak? Dan apakah benar yang kumiliki sekarang hanyalah berupa sisa? Masihkah ada kesempatan untukku melalui hari-hariku selayaknya orang normal? *** TRIGGER WARNING PERINGATAN PEMICU Kisah ini adalah kisah nyata penulis yang diceritakan kembali dari sudut pandang penulis sendiri tanpa diubah, dikurangi, maupun ditambah dengan satu atau dua hal sekalipun; kecuali nama-nama orang yang terlibat demi melindungi identitas mereka. Kisah ini mungkin bisa memicu seseorang dengan kelainan jiwa karena mengandung kisah dan pembawaan yang berat dan sulit. Mohon dibaca dan diambil hikmahnya dengan bijaksana. Penulis tidak bertanggung jawab atas masalah dan penyimpangan apapun yang terjadi akibat mengabaikan peringatan ini dan akibat bersikap tidak bijaksana dengan kisah ini. Belum direvisi. Karya original berdasarkan kisah nyata penulis. Instagram: https://www.instagram.com/ibdatiAll Rights Reserved