Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)
60 parts Complete Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa
---
Di masa lalu, Tapak Bumi hidup di masa akhir Kerajaan Singhasari dan pra-Kerajaan Majapahit. Kematian Prabu Shri Maharajadiraja Kertanagara akibat pemberontakan Jayakatwang sangat menyakitkan hati Dyah Nararya Sanggramawijaya atau yang biasa disebut Raden Wijaya. Ia meminta Tapak Bumi ikut dalam penyerbuan ke Kadiri yang menunggangi pasukan Mongol.
Prajurit yang dipimpin Raden Wijaya berhadapan dengan salah satu prajurit terkuat yang dimiliki Jayakatwang, Gentong Kayu. Pertempuran antara Tapak Bumi dan Gentong Kayu menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat di sekitar tempat bertarung. Gentong Kayu yang memiliki dendam terhadap Tapak Bumi yang pernah mematahkan tangannya saat bertarung, kini berkesempatan membalas.
Di hari yang sama, jam yang sama, menit yang sama dan detik yang sama pada tahun 2019 BATANINDO dan pihak militer mengadakan uji coba fusi nuklir. Laboratorium itu melakukan eksperimen pemecahan inti atom menggunakan laser dan memindahkan hasil pemecahannya ke dalam sebuah ruang tanpa tarikan massa dan gravitasi, untuk mendapatkan wujud maksimal.
Ledakan yang besar di saat Tapak Bumi dan Gentong Kayu mengadu tenaga dalam itu, bersinggungan dengan dimensi waktu saat pengujian pemecahan inti atom di laboratorium BATANINDO Jakarta dan Lembah Grambung Nusa Tenggara Timur. Tapak Bumi tertarik oleh mesin transformasi media pemecahan inti atom instalasi nuklir Lembah Grambung. Gentong Kayu tertarik masuk ke ruang laboratorium pengujian dan rekayasa nuklir BATANINDO Jakarta.
Cerita ini juga menggunakan bahasa Jawa perwayangan. Bagaimana kelanjutannya Tapak Bumi sang pemilik terakhir Ajian Pancasona yang hidup di tahun 2019, yuk ikuti terus cerita ber-genre fiksi sejarah ini.
---
Cerita ini didedikasikan untuk:
Ki Dalang Mbah Soedarsono
Keluarga besar, Camat Tanggungharjo Bambang Edy Purnomo STP, Kepala Desa Bonagung Moh. Tarom dan segenap warga Desa Kebonagung, Tegowanu, Grobogan.
Matur nuwun sanget.
Frans Toem