"Kita nikah dalam waktu dekat ya dek?" ucap Diaz dengan lantang. Mendengar hal itu sontak membuat Tesa membeku seketika. Mencerna apa yang dikatakan pria dihadapannya ini. Tesa masih melongo dan tidak bisa menjawab apa-apa. "Umur mas udah pantes buat nikah, mas udah mapan, mas juga udah punya pekerjaan yang bisa buat biayain kamu kuliah, apalagi yang mas kejar selain menjalin hubungan yang serius? Kita nggak bisa selamanya kayak gini," ucap Diaz lagi. "Tapi kan mas-," jawab Tesa. "Dari awal mas nggak mau pacaran-pacaran berarti mas udah serius sama kamu. Kamu paham kan?" "Bukan masalah paham atau nggaknya mas tapi masalah kesiapan mental kita berdua. Mas kenapa ngomong tiba-tiba kayak gini? Pernikahan nggak semudah yang kita bayangin mas, banyak pertimbangan yang harus diambil," jelas Tesa. Ia tidak mau tergesa-gesa. Ini menyangkut dengan masa depannya. Bagaimana bisa ia akan mengambil sebuah keputusan yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. "Apalagi yang harus dipertimbangin? Apalagi? Mas udah mapan, yang mas kejar sekarang adalah target buat nikah," ucap Diaz dengan lantang. "Mas. Asal kamu tau ya, nikah itu bukan untuk mengejar target umur yang udah pantes buat nikah, bukan masalah mas udah mapan dan bisa biayain aku. Nikah itu harus dipersiapkan dengan matang mas, kesiapan mental itu juga perlu dan banyak lagi yang perlu disiapin. Mas bilang kayak gini emangnya mas tau kalau aku udah siap? Aku bukannya nggak setuju atau gimana, tapi ini terlalu cepat mas," jelas Tesa. "Kamu nolak mas?" "Bukan gitu-," "Ya terus apa?" sentak Diaz. "Terserah mas," jawab Tesa mengalah. Menjelaskan berbagai hal pun nggak akan mengubah keadaan saat ini. Diaz masih kekeh dengan ucapannya.
10 parts