Di halaman sebuah kamar kontrakan, Maya, adik iparku menjambak dan menyeret seorang wanita yang berpakaian setengah telanjang, kemudian menghajarnya habis-habisan sambil melontarkan segala macam sumpah serapah. Sementara Aldi, suami iparku itu, sembunyi di belakang pintu tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Menonton dua wanita berseteru memperebutkan burungnya yang kecil, sekecil nyalinya yang hanya sebesar biji ketumbar.
Kerumunan warga asik menonton. Sepertinya tidak ada satu pun dari mereka berniat melerai. Takut kurasa, sebab Maya seperti kesetanan. Bahkan tadi ibunya, yang tak lain mertuaku, dan Mas Danar, suamiku, terpental saat mencoba menahannya.
Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan Qanita, putri semata wayang dari Aldi dan Maya. Remaja belasan tahun yang terpukul melihat keberingasan ibunya, juga kepecundangan ayahnya. Nita, begitu biasa dia dipanggil, gemetar dengan tangis tertahan dalam pelukanku.
Hal ini seperti dejavu. Ya, ini bukan pertama kali terjadi. Aldi adalah pecundang yang berulang kali berselingkuh, dan Maya wanita tak berotak yang selalu menuntut keluarga, termasuk aku dan putrinya, agar ikut menuntut wanita-wanita selingkuhan si pecundang. Entah di mana pikiran dan nurani pasangan suami istri ini, hingga tega mempertontonkan kerendahan di hadapan semua orang, bahkan putri mereka sendiri. Berulang kali.
Beberapa orang tampak sibuk merekam kejadian itu dengan ponsel pintar, hingga akhirnya Maya menceburkan si wanita ke parit yang ada di pinggiran kontrakan. Dan, adegan penyiksaan pun sepertinya selesai.