12 chapitres En cours d'écriture "Haha... lucu," gumam Rei, masih dengan mata terpejam. "Sangat lucu."
Demian menoleh, diam.
"Jadi ternyata benar. Kau memang gila, Demian. Tapi aku tak menyangka... segila itu."
Nada suaranya tajam, bergetar oleh luka yang belum sempat mengering.
Demian menatapnya dingin. "Itu hukuman. Karena kau berani melawan."
Rei tertawa pelan, getir. "Hukuman? Kau kira setelah ini aku akan patuh padamu? Tidak, Demian. Tidak akan pernah!" suaranya meninggi, gemetar oleh amarah dan rasa muak.
"Jaga ucapanmu, Rei," balas Demian tajam. "Jangan buat aku harus mematahkan kaki yang satunya lagi."
Lalu ia berbalik dan pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah tenang namun penuh ancaman.
Rei terdiam. Ia mengangkat lengannya, menutup wajahnya-dan tertawa lagi, tawa yang berubah menjadi isakan. "Apa... kakiku dipatahkan?" batinnya lirih.
Air mata mengalir diam-diam di sela lengan yang menutupi wajahnya. Tapi bukan hanya soal kakinya, semua yang terjadi semalam, membuat harga diri nya hilang. semua emosi berkumpul di dada dan menghantamnya sekaligus.