"Kalau mau minta wawancara khusus apalagi minta putus ...." Jeda sesaat. Ilyas tersenyum menatap lawan bicaranya. "Syaratnya, kita harus kencan seharian. Masa, selama jadian kita nggak pernah jalan? Padahal kamu yang nembak, biarpun kamu sering pura-pura amnesia." Gara-gara ulah sahabat yang memakai nama dan telepon genggamnya untuk menyatakan cinta kepada seorang idola, Inara yang kena getahnya: ia terpaksa jadian dengan vokalis songong itu! Padahal, jurnalis remaja itu sudah jatuh hati kepada suara muazin yang kerap didengarnya setiap Sabtu malam ataupun Minggu subuh. Kalau boleh membandingkan, suara Ilyas yang seperti kaleng rombeng itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan suara muazin yang ia idolakan. Jauuuh sekali. Terlebih, dalam bayangan Inara, pemilik suara semerdu dan semenenangkan itu pasti tak hanya sekadar tampan sebagaimana Ilyas yang hanya bermodal 'bisa bikin cewek-cewek mimisan'. Bukan pula om-om, bapak-bapak, atau bahkan kakek-kakek seperti dugaan sahabatnya. Mungkin, Inara lupa sesuatu. Bukankah vokalis dan muazin sama-sama berurusan dengan suara?
34 parts