-ON HOLD-
First of all, all the characters in my story are purely based on my imagination. I don't mean to demonize any idol here. And also, this story is purely my imaginations.
⚠️ warning. in this story there will be scenes of violence, bullying, self harm, and various other rough scenes.
readers are expected to be wise in choosing their reading. ⚠️
Kim Taehyung. Pemuda 18tahun yang harus menanggung beban hidup yang seharusnya tidak Ia dapatkan.
Dibully, diperlakukan tidak adil, keluarga yang hancur, dikucilkan, harus berjuang untuk hidup, segala macam kepahitan hidup sudah Ia rasakan.
Ia hanya memiliki satu sahabat yang setia menemani, Park Jimin. Latar belakang mereka sangat berbeda.
Kim Taehyung dengan segala masalah hidup, dan Park Jimin dengan segala kebahagiaan hidup. Oh, Jimin juga punya masalah hidup, tapi tidak sebanyak dan seburuk Taehyung tentu saja.
Lalu, akankah Taehyung menemukan bahagianya? Akankah Ia bertahan melewati semua hal? Akankah hidupnya berubah?
Bertahan, atau menyerah? Manakah pilihan Taehyung?
Liu Qiaqio, Permaisuri Dinasti Jin, telah menyerahkan hati, jiwa, dan raganya untuk sang kaisar. Dia mencintainya dengan sepenuh hati hingga merasa lelah, tetapi sang kaisar yang dingin hanya memiliki mata untuk satu orang, dan orang itu bukanlah dirinya. Kehangatan di mata kaisar saat memandang orang itu tidak pernah menjadi miliknya, kelembutan suara kaisar saat berbicara dengan orang itu tidak pernah ditujukan padanya, bahkan hingga ajal menjemput.
"Apa salahku sehingga kau membenciku sejauh ini? Apa aku telah melakukan kesalahan sehingga kau memandangku dengan begitu hina? Apakah mencintaimu adalah dosa yang begitu besar?" tanyaku dengan lemah.
"Dosamu adalah mencintai seseorang yang seharusnya tidak kau cintai," jawabnya dingin.
'Dia benar, aku telah menghabiskan terlalu banyak cinta untuknya hingga aku tidak punya sisa cinta untuk anak-anakku, untuk mereka yang benar-benar peduli padaku. Jika aku diberi satu kesempatan untuk menebus semua itu, aku akan menghabiskan seluruh hidupku melakukannya,' pikirku sembari menutup mata dan menyambut kematian. Atau begitulah pikirku.