Carlson menautkan tangan diatas meja, secara tidak langsung mengatakan bahwa dia yang berkuasa disini. Bahkan jika Amara menolak, dirinya tidak bisa melakukan apapun. Amara meneguk ludah kecut saat tatapan Carlson menyorotnya rendah. Dunia seakan runtuh sesaat setelah Carlson melanjutkan perkatannya. "Bagaimana jika kau tinggal disini?" Amara sontak membulatkan mata tidak percaya. Dia perlahan mendongak menatap Carlson yang melihat dirinya dingin, tanpa ada kehangatan didalamnya. Amara meremas gaun malamnya. Menahan diri untuk tidak berteriak kepada sesosok 'Ayah' didepannya. "Tapi, bukankah itu," Heinley kebingungan ditempat. Menyadari keheningan berat yang terjadi diakibatkan kehadiran dirinya. Dia terlalu lugu dan polos. Bukan, dia bodoh. "Nona pasti tidak akan suka jika saya tinggal disini kan?" 'Ya, aku tidak suka. Aku juga membencinya.' "Itu tidak akan merubah keputusanku, Heinley. Aku yang memegang kendali disini." Amara mengepalkan kedua tangannya penuh amarah. Bukan, lebih tepatnya kekecewaan yang tidak bisa ia lampiaskan. Heinley menoleh padanya, tatapannya harap-harap cemas. Meski Amara membencinya, itu tidak menutup kemungkinan jika Carlson menyukai keberadaan gadis itu. Amara mengerti, ia sangat mengerti, hanya dengan melihat tatapan mata Heinley. Ada sesuatu yang tidak bisa Amara miliki namun Heinley miliki. "Ya." Amara menggenggam kedua tanggannya erat. Wajahnya sudah pucat pasi. Mengulas senyum, Amara mengangguk. Karena Amara sadar, seberapa keras dia berusaha, Carlson tidak akan pernah menoleh dan memeluknya selayaknya anak. Heinley berkedip, sedetik kemudian senyumnya tersungging lebar. Lebih bahagia dan lebih cerah dibandingkan sebelumnya. Ternyata rencana nya berjalan lebih lancar daripada yang dia bayangkan. *** Perjalanan seorang gadis menemukan kasih sayang~
9 parts