Aden, remaja tanggung yang gayanya setinggi langit tiba-tiba disuruh ayahnya melanjutkan SMA ke daerah terpencil Indonesia. Kehidupan SMA yang dibayangannya akan dipenuhi dengan nongkrong bareng anak hits dan ngecengin cewek-cewek cantik langsung buyar begitu mengetahui lokasi sekolah barunya yang berada di pulau terluar Indonesia, alias jauh dari ibukota dan hiruk pikuknya. Aden bahkan sangsi sinyal telpon dan internet dapat mencapai daerah sana. "Orang gila mana sih yang bikin sekolah di tempat yang cocok dipake buat Nusa Kambangan versi 2.0 itu?" dumelnya ketika mesin pencarian bernama Google memberikannya sedikit informasi mengenai calon sekolah barunya. "Gue bersumpah kalo gak demi mobil tesla yang dijanjiin Papa, gue ga bakalan mau repot cari tau tentang sekolah ini." Aden memijat pangkal hidungnya begitu membaca bahwa sistem sekolah itu asrama. "C'mon den, satu semester aja ga lebih! emang sesulit apasih cari informasi tentang satu SMA? ga bakalan sesulit soal Fisika juga kan?" hiburnya pada diri sendiri, sebelum kemudian menutup laptopnya dan memejamkan mata. - Malam itu Aden belum menyadari bahwa apa yang ada disekolah itu bahkan tidak selevel dengan soal Fisika, lebih dari itu, menyangkut nyawa dan kehidupan banyak orang. Empatinya yang hanya seukuran biji semangka dipaksa untuk peduli pada orang yang bukan siapa-siapanya, bahkan otaknya yang jarang dipakai untuk berpikir pun harus dimaksimalkan fungsinya, sebab lawannya kali ini bukan sebatas tukang pukul yang ototnya sebesar batang pohon, melainkan sekelompok orang yang berdiri dibawah perintah salah satu orang paling berpengaruh di Indonesia.
4 parts