"Manusia bisa menjadi Tuhan."
Seketika, aku terkejut. Apa maksud ucapan Bagus Permana itu? Meskipun aku baru mengenal Tuhan secara dekat, tetapi aku tidak pernah berpikir akan setara seperti Tuhan. Itu terdengar sangat konyol.
"Kau pikir, aku akan percaya ucapanmu?" Gagah Kumayun menimpali. Jelas dia tidak akan percaya. Dia dilahirkan sebagai Yudha Manggala yang taat beribadah. Tidak mungkin dia akan menelan mentah-mentah ucapan iblis laknat itu.
"Kali ini dengarkan aku, hai manusia. Aku adalah kaum yang tersisih. Kaum marginal. Jika manusia berbuat kesalahan, dengan mudahnya mereka beralasan: itu semua karena godaan setan. Tanpa mereka sadari, itulah kepribadian mereka yang sesungguhnya. Namun, selalu, selalu, dan selalu, bangsaku yang jadi kambing hitam."
Entah kenapa, kali ini aku berpikir ucapan Bagus Permana memang ada benarnya. Saat manusia melakukan hal-hal buruk, atau hendak melakukan hal-hal buruk, pasti sebagian dari mereka akan menyimpulkan: jangan didengar, itu bisikan setan! Ah, kenapa aku jadi berpikir seperti ini?
Kulihat, Gagah Kumayun juga terdiam. Apa dia berpikiran sama denganku?
"Ketika Adam diturunkan ke dunia, moyangku mengatakan kepadanya: kau bisa seperti Tuhan, asal kau mau mencari tahu."
"Jangan coba-coba menyesatkanku, iblis laknat!" sela Gagah Kumayun. "Tidak mungkin manusia bisa menjadi Tuhan, sementara dia sendiri adalah ciptaan Tuhan. Untuk apa aku harus mendengarkanmu, makhluk yang sudah dikutuk karena kesombonganmu?!"
Bagus Permana terbahak-bahak. "Kau bilang aku sombong? Bagaimana dengan kekasihmu itu? Dia dengan sombongnya menantangku untuk datang. Sekarang, dia bersikeras untuk melepaskan diri dariku. Lalu, kau mau menyalahkanku karena kesombongannya?"
Aku memejamkan mata. Ada rasa malu dalam hati. Iya, karena kesombongan yang kumiliki, hidupku jadi berakhir seperti ini.
Tapi ... apakah benar manusia bisa seperti Tuhan?
Senja selalu punya cara untuk mengingatkanku padanya. Pada warna jingga yang memudar perlahan, pada langit yang semakin gelap, dan pada perasaan yang tak pernah benar-benar pergi.
Aku masih mengingatnya dengan jelas- hari pertama aku melihatnya, tawa kecilnya yang ringan, dan caranya berbicara seolah dunia ini adalah tempat yang penuh keajaiban. Aku juga masih ingat saat aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, hanya untuk mendengar jawaban yang sudah kutakutkan sejak
awal.
"Aku nggak bisa, Rak... Maaf."
Kalimat itü terus terulang di kepalaku, seperti kaset rusak yang tak bisa kuhentikan. Tapi anehnya, aku tetap di sini. Aku tetap bertahan.
Mungkin ini bodoh. Mungkin aku hanya menggenggam sesuatu yang seharusnya kulepaskan sejak lama. Tapi, bagaimana caranya melepaskan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari diri sendiri?
Senja yang pernah menyatukan kami kini menjadi saksi bahwa beberapa hal memang tidak bisa kembali seperti dulu. Namun, meski tak bisa kumiliki, aku masih menyimpan perasaan ini. Bukan untuk berharap, bukan untuk menunggu, tetapi sekadar untuk mengenang bahwa aku pernah mencintai seseorang dengan seluruh hatiku.
Dan itu sudah cukup.