"Pak, aku ingin kerja ke Jakarta," jawabnya pelan. Kedua jemarinya memilin-milin ujung kemeja dengan raut sedikit cemas.
Khawatir jika rencana kepergiannya kali ini tidak mendapatkan izin. Namun, seulas senyum mengembang dari bibir lelaki bertubuh kurus itu. "Yo kalau memang kamu mau mengadu nasib ke Jakarta, satu pesan bapak, setelah pulang kamu harus menikah yo, Nduk."
Deg! Kedua bola matanya terbelalak. Seolah-olah ia merasakan batu besar menghantam bagian ulu hati. Memang, teman sebayanya yang bernama Rupiyah ketika berusia empat belas tahun sudah menikah lebih dulu. Temannya itu dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan pedagang kaya di desa ini.
Tapi, Pak. Aku masih ingin bermain, batinnya. Namun, bukan kalimat itu yang meluncur dari bibir mungil Fatonah.
"Nggih, Pak. Fatonah ngerti." Ia gusar dengan perasaan campur aduk bagai makan gethuk tanpa parutan kelapa. Kurang sedap untuk dinikmati dengan secangkir kopi pada pagi hari.
ad itu. Seorang wanita yang sekarang sudah mendapatkan kebahagiaannya.
Setiap kali berkunjung ke rumah, ia akan meminta tolong untuk sekadar menghapus pesan di ponsel jadulnya. Atau, memperbaiki ponselnya karena error. Aku cukup memaklumi, memang usia yang terbilang sudah tua akan sulit untuk menggunakan ponsel anak gaul--tentunya memang belum terbiasa menggunakannya. Terkadang, wanita yang usianya hampir setengah abad itu akan menceritakan sebagian kisahnya di masa mudanya. Terkadang ia memberikan barang yang dipunya kepadaku, seperti kain atau jajan.
Aku selalu senang ketika ia mulai bercerita, karena aku tidak begitu paham, terkadang menggangguk pelan untuk memberikan rasa simpati. Dan cukup membuatnya senang pula. Kisah selengkapnya check this out....